F. Konsep Dasar Bank Syariah
Bank Islam atau di Indonesia disebut bank syariah merupakan lembaga keungan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sector riil melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip Syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaaan kegiatan usaha, atatu kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai Syariah yang bersifat makro maupun mikro.
Nilai-nilai makro yang dimaksud adalah keadilan, maslahah, system zakat, bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti perjudian (maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar), bebas dari hal-hal yang rusak atau tidak sah (bathil), dan penggunaan uang sebagai alat tukar. Sementara itu, nilai-nilai mikro yang harus dimiliki oleh pelaku perbankan syariah adalah sifat-sifat mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Yaitu shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.
1. Konsep Operasi
Seperti telah disebutkan di atas, bank syariah adalah lemabaga keungan yang berfungsi memperlancar mekanisme otonomi di sector riil melalui aktivitas investasi atau jual beli, serta memberikan pelayanan jasa simpanan/perbankan bagi para nasabah. Mekanisme kerja bank syariah adalah sebagai berikut. Bank syariah melakukan kegiatan pengumpulan dana dari nasabah melalui deposito/investasi maupun titipan giro dan tabungan. Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan pada dunia usaha melalui investasi sendiri (nonbagi hasil/ trade financing) dan investasi dengan pihak lain (bagi hasil/investment financing). Ketika da hasil (keuntungan), maka bagian keuntungan untuk bank dibagi kembali antara bank dan nasabah pendanaan. Di samping itu, bank Syariah dapt memberikan berbagai jasa perbankan kepada nasabahnya (lihat gambar 11).
Secara teori bank syariah menggunakan konsep two tier mudharaba (mudharabah dua tingkat), yaitu bank syariah berfungsi dan beroperasi sebagai institusi intermediasi investasi yang menggunakan akad mudharabah pada kegiatan pendanaan (pasiva) maupun pembiayaan (aktiva). Dalam pendanaan bank syariah bertindak sebagai pengusaha atau mudharib, sedangkan dalam pembiayaan bank syariah bertindak sebagai pemilik dana atau shahibul maal. Selain itu, bank syariah juga dapat bertindak sebagai agen investasi yang mempertemukan pemilik dana dan pengusaha (lihat gambar 12).
Apabila dilihat lebih rinci, maka alur operasi bank syariah dari proses pendanaan, pembiayaan, dan kegiatan lainnya dapat diilustrasikan seperti Gambar 13.
Pada gambar 13 dapat dijelaskan bahwa dana yang dihimpun melalui prinsip wadiah yad dhamanah, mudharabah mutlaqah, ijarah, dan lain-lain, serta setoran modal dimasukkan ke dalam pooling fund. Pooling fund ini kemudian dipergunakan dalam penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diperoleh bagian bagi hasil/laba.
Sesuai kesepakatan awal (nisbah bagi hasil) dengan masing-masing nasabah (mudharib atau mitra usaha); dari pembiayaan dengan prinsip jual beli diperoleh margin keuntungan ; sedangkan dari pembiayaan dengan prinsip sewa diperoleh pendapatan sewa. Keseluruhan pendapatan dari pooling fund ini kemudian dibagihasilkan antara bank dengan semua nasabah yang menitipkan, menabung, atau menginvestasikan uangnya sesuai dengan kesepakatan awal. Bagian nasabah atau hak pihak ketiga akan didistribusikan kepada nasabah, sedangkan bagian bank akan dimasukkan ke dalam laporan rugi laba sebagai pendaptan operasi utama. Sementara itu, pendapatan lain, seperti dari mudharabah muqayyadah (investasi terikat) dan jasa keuangan dimasukkan ke dalam laporan rugi laba sebagai pendapatan operasi lainnya.
Dari penjelasan di atas terlihat jelas bahwa esensi dan karakteristik bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dirangkum dalam Tabel 3.
Bank Konvensional Bank Syariah
Fungsi dan Kegiatan Bank Intermediasi, Jasa Keuangan Intermediasi, Manager Investasi, Investor, Sosial, Jasa Keuangan
Mekanisme dan Objek Usaha Tidak antiriba dan antimaysir Antiriba dan antimaysir
Prinsip Dasar Operasi - Bebas nilai (prinsip materialis)
- Uang sebagai Komoditi
- Bunga - Tidak bebas nilai (prinsip syariah Islam)
- Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi
- Bagi hasil, jual beli, sewa
Prioritas Pelayanan Kepentingan pribadi Kepentingan public
Orientasi Keuntungan Tujuan social-ekonomi Islam, keuntungan
Bentuk Bank komersial Bank komersial, bank pembangunan, bank universal atau multi-porpose
Evaluasi nasabah Kepentingan pengembalian pokok dan bunga (creditworthiness dan collateral) Lebih hati-hati karena partisipasi dalam resiko
Hubungan Nasabah Terbatas debitor-kreditor Erat sebagai mitra usaha
Sumber Likuiditas Jangka Pendek Pasar Uang, Bank Sentral Pasar Uang Syariah, Bank Sentral
Pinjaman yang diberikan Komersial dan nonkomersial. Berorientasi laba Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba dan nirlaba
Bentuk-bentuk musyarakah antara lain :
a. Musyarakah Tetap
Bentuk akad musyarakah yang paling sederhana adalah musyarakah tetap ketika jumlah dan porsi modal yang disertakan oleh masing-masing mitra tetap selama periode kontrak.
b. Musyarakah Menurun
Bentuk akad lain yang merupakan pengembangan dari musyarakah adalah musyarakah menurun. Pada kerja sama ini, dua pihak bermitra untuk kepemilikan bersama suatu aset dalam bentuk property, peralatan, perusahaan, atau lainnya. Bagian asset pihak pertama, sebagai pemodal, kemudian dibagi ke dalam beberapa unit dan disepakati bahwa pihak kedua, sebagai klien, akan membeli bagian asset pihak pertama unit demi unit secara periodic sehingga akan meningkatkan bagian asset pihak kedua sampai semua unit milik pihak pertama terbeli semua dan asset sepenuhnya milik pihak kedua. Keuntungan yang dihasilkan pada tiap-tiap periode dibagi sesuai porsi kepemilikan asset masing-masing pihak saar itu.
c. Musyarakah Mutanaqishah
Salah satu bentuk musyarakah yang berkembang belakangan ini adalah musyarakah mutanaqishah, yaitu suatu penyertaan modal secara terbatas dari mitra usaha kepada perusahaan lain untuk jangka waktu tertentu, yang dalam dunia modern biasa disebut Modal Ventura, tanpa unsur-unsur yang dilarang dalam Syariah, seperti riba, maysir, dan gharar.
2. Mudharabah
Secara singkat mudharabah atau penanaman modal adalah penyerahan modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan presentase keuntungan (Al-Mushlih dan Ash-Shawi, 2004)
Sebagai suatu bentuk kontrak, mudharabah merupakan akan bagi hasil ketika pemilik dana/modal (pemodal), biasa disebut shahibul maal/rabbul maal, menyediakan modal (100 persen) kepada pengusaha sebagai pengelola, biasa disebut mudharib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (yang besarnya juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar).
Shahibul maal (permodal) adalah pihak yang memiliki modal, tetapi tidak bisa berbisnis, dan mudharib (pengelola atau entrepreneur) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal.
Apabila terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena kelalaian atau kecurangan pengelola, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, sedangkan pengelola kehilangan tenaga dan keahlian yang telah dicurahkannya. Apabila terjadi kerugian karena kelalaian dan kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung jawab sepenuhnya.
Pengelola tidak ikut menyertakan modal. Tetapi menyertakan tenaga dan keahliannya, dan juga tidak meminta gaji atau upah dalam menjalankan tugasnya. Pemilik dana hanya menyediakan modal dan tidak dibenarkan ikut campur dalam manajemen usaha yang dibiayainya. Kesediaan pemilik dana untuk menanggung risikp apabila terjadi kerugian menjadi dasar untuk mendapat bagian dari keuntungan. Bagan mudharabah dapat dilhat pada Gambar 25.
Dalam satu kontrak mudharabah pemodal dapat bekerja sama dengan lebih dari satu pengelola. Para pengelola tersebut seperti bekerja sama dengan lebih dari satu pengelola. Para pengelola tersebut seperti bekerja sebagai mitra usaha terhadap pengelola yang lain. Nisbah (porsi) bagi hasil pengelola dibagi sesuai kesepakatan di muka.
nisbah bagi hasil antara pemodal dan pengelola harus disepakati di awal perjanjian. Besarnya nisbah bagi hasil masing-masing pihak tidak diatur dalam Syariah, tetapi tergantung kesepakatan mereka. Nisbah bagi hasil bisa dibagi rata 50:50, tetapi bisa juga 30:70, 60:40, atau proporsi lain yang disepakati. Pembagian keuntungan yang tidak diperbolehkan adalah dengan menentukan alokasi jumlah tertentu untuk salah satu pihak. Diperbolehkan juga untuk menentukan proporsi yang berbeda untuk situasi yang berbeda. Misalnya, jika pengelola berusaha di bidang produksi, maka nisbahnya 50 persen, sedangkan kalau pengelola berusaha di bidang perdagangan, maka nisbahnya 40 persen.
Di luar porsi bagi hasil yang diterima pengelola, pengelola tidak diperkenankan meminta ga ji atau kompensasi lainnya untuk hasil kerjanya. Semua mazhab sepakat dalam hal ini. Namun demikian, Imam Ahmad memperbolehkan pengelola untuk mendapatkana uang makan harian dari rekening mudharabah. Ulama dari mazhab Hanafi memperbolehkan pengelola untuk mendapatkan uang harian (seperti untuk akomodasi, makan, dan transport) apanibila dalam perjalanan bisnis ke luar kota.
Rukun dari akad mudharabah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
1. Pelaku akad. Yaitu shahibul maal (pemodal) adalah pihak yang memiliki modal tetapi tidak bisa berbisnis , dan mudhaerib (pengelola) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak punya modal;
2. Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh); dan
3. Shighah, yaitu Ijab dan Qabul
Sementara itu, syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam mudharabah terdiri dari syarat modal dan keuntungan. Syarat modal. Yaitu :
1. Modal yang harus berupa uang;
2. Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya;
3. Modal harus tunai bukan utang; dan
4. Modal harus diserahkan kepada mitra kerja
Sementara itu. Syarat keuntungan, yaitu keuntungan harus jelas aturannya; dan keuntugan harus dengan pembagian yang disepakati kedua belah pihak.
Syarat lain akad udharabah muqayyadah ‘executing’ (on balance sheet) dan mudharabah muqayyadah ‘channeling’ (off balance sheet) adalah sebagai berikut:
- Mudharabah muqayyadah on balance sheet (executing);
Pemodal menetapkan syarat ;
Kedua pihak sepakat dengan syarat usaha, keuntungan;
Bank memisahkan dana.
- Mudharabah muqayyadah off balance sheet (channeling):
Penyaluran langsung ke nasabah;
Bank menerima komisi;
Bank menerbitkan bukti investasi khusus; dan
Bank mencatat di rekening administrasi;
Beberapa syarat pokok mudharabah menurut Usmani (1999) antara lain sebagai berikut:
a. Usaha mudharaba. Shhibul maal boleh menentukan usaha apa yang akan dilakukan oleh mudharib, dan mudharib harus mengivestasikan modal ke dalam usaha tersebut saja. Mudharabah seperti ini disebut mudharabah muqayyadah (mudharabah terikat). Akan tetapi, apabila shahibul maal mwmberikan kebebasan kepada mudharib untuk melakukan usaha apa saja yang dimaui oleh mudharib, maka kepada mudharib hahrus diberi otoritas untuk mengivestasikan modal ke dalam usaha yang dirasa cocok. Mudharabah seperti ini disebut mudharabah mutlaqah mudharabah tidak terikat).
Seorang shahibul maal dapat melakukan kontrak mudharabah dengan lebih dari satu orang mudharib melalui satu transaksi. Hal ini berarti bahwa shahibul maal dapat menawarkan modalnya kepada A dan B sehingga masing-masing bertindak sebagai mudharib untuknya dan modal mudharabah dapat digunakan bersama oleh mereka, dan bagian mudharib harus dibagi di antara mereka dengan proporsi yang disepakati bersama.
Dalam kasus ini kedua mudharib harus menjalankan usaha seperti mitra usaha satu terhadap yang lain. Kepada mudharib, secara individu atau bersama, diberi otoritas untuk menjalankan apa saja sebagaimana layaknya suatu usaha. Namun demikian, jika mereka ingin melakukan kerja ekstra, di luar kebiasaan usaha, mereka tidak dapat melakukannya tanpa izin dari shahibul maal.
b. Pembagian keuntungan. Untuk validitas mudharabah diperlukan bahwa para pihak sepakat, pada awal kontrak, pada proporsi tertentu dari keuntungan nyata yang menjadi bagian masing-masing. Tidak ada proposri tertentu yang ditetapkan oleh Syariah, melainkan diberi kebebasan bagi mereka dengan kesepakatan bersama. Mereka dapat membagi keuntungan dengan proporsi yang sama. Mereka juga dapat membagi keuntungan denagn proporsi berbeda untuk mudharib dan shahibul maal. Namun demikian, mereka tidak boleh mengalokasikan keuntungan secara lumsum untuk siapa saja dan mereka juga tidak boleh mengalokasikan keuntungan dengan tingkat presentase tertentu dari modal. Misalnya, jika modal Rp 100 juta, mereka tidak boleh sepakat terhadap syarat bahwa mudharib akan mendapatkan Rp 10 juta dari keuntungan, atau terhadap syarat bahwa 20 persen dari modal harus menjadi bagian shahibul maal. Namun, mereka boleh sepakar bahwa 40 persen dari keuntungan riil menjadi bagian shahibul maal dan 60 persen menjadi bagian mudharib atau sebaliknya.
c. Penghentian mudharabah. Kontrak mudharabah dapat dihentikan kapan saja oleh salah satu pihak dengan syarat member I tahu pihak lain terlebih dahulu. Jika semua asset dalam bentuk cair/tunai pada saat usaha dihentikan, dan usaha telah menghasilkan keuntungan, maka keuntungan dibagi sesuai kesepakatan terdahulu. Jika asset belum dalam betnuk cair/tunai, kepada mudharib harus diberi waktu untuk melikuidasi asset agar keuntungan atau kerugian dapat diketahui dan dihitung.
Terdapar perbedaan pendapat di antara para ahli Fikih apakah kontrak mudharabah boleh dilakukan untuk periode waktu tertentu dan kemudian kontrak berakhir secara otomatis. Hanafi dan Hambali berpendapat boleh dilakukan, seperti satu tahun, enam bulan, dan seterusnya. Sebaliknya, mazhab Syafi’I dan Maliki berpendapat.....
Worth For All
Selasa, 31 Januari 2012
Kamis, 12 Januari 2012
Pembiayaan Pembangunan dengan Hutang Luar Negeri ; Apakah Efektif?
Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya Indonesia masih sangat menggantungkan pembiayaan pembangunan dengan modal yang bersumber dari hutang luar negeri. Dari tahun ke tahun hutang ini kian menumpuk hingga semakin banyak muncul argumen pro dan kontra akan hutang ini. Sebenarnya, seberapa efektifkah pembiayaan pembangunan dengan hutang luar negeri ini?
Menurut pasal 169-171 UU no. 32 tahun 2004, salah satu smber pendapatan bagi pemerintah daerah adalah dengan melakukan pinjaman dari dalam atau luar negeri dengan persetujuan DPRD. Hal tersebut sejalan dengan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang menyatakan bahawa daerah dapat melakukan pembiayaan daerah melalui berbagai alternatif sumber pembiayaan baru. Misalkan dengan melakukan hutang daerah (local government debt), hutang luar negeri, maupun dengan penjualan obligasi pemerintah daerah kepada masyarakat.
Bila ditinjau dari sisi positif mengenai pembiayaan dengan hutang luar negeri ini, Menurut Devas et.al (1999:221) penggunaan dana pinjaman merupakan salah satu pilihan pembiayaan pembangunan yang memegang peranan penting dalam membuka peluang investasi, dan membangun infrastruktur yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat banyak. Menurutnya, pinjaman daerah dibenarkan karena :
1. Dengan cara meminjam dana untuk menanam modal, pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan di wilayahnya dibandingkan dengan jika kegiatan pembangunannya hanya bergantung pada penerimaan berjalan.
2. Karena manfaat penanaman modal baru dapat dipetik setelah jangka waktu yang panjang, maka sudah seharunya jika biaya dipikul oleh mereka yang akan menikmati manfaatnya dimasa yang akan datang.
Di sisi lain, pembiayaan pembangunan dengan hutang luar negeri ini memiliki dampak negatif. Pada dasarnya, pinjaman juga memiliki konsekuensi. yaitu kewajiban untuk mengembalikan angsuran pokok pinjaman yang disertai dengan bunga, biaya administrasi, serta denda. Oleh karena itu pemerintah harus berhati-hati apabila akan mengambil keputusan untuk melakukan pinjaman.
Hutang luar negeri yang disalurkan oleh negara maju ke negara yang sedang berkembang dan atau negara miskin tidak dilakukan atas dasar kemanusiaan, tetapi dilakukan atas dasar motivasi ekonomi bahkan politik. Hutang luar negeri tidak akan disalurkan tanpa ada keuntungan yang diperoleh negara pemberi hutang. Sesuai amanat dari GBHN bahwa tingkat hutang luar negeri perlu dikurangi, pembahasan ini lebih memfokuskan pada analisis terhadap hutang luar negeri berikut permasalahan dan agenda ke depannya.
Permasalahan hutang luar negeri sekarang telah menjadi fokus perhatian utama meski pada awalnya sendiri hutang luar negeri seperti dimanatkan oleh GBHN tahun 1973 hanya sebagai pelengkap dan pembantu akan tetapi dalam perjalanannya telah terjadi penumpukan stok hutang luar negeri yang relatif tinggi. Posisi hutang yang sudah tinggi tersebut membawa konsekuensi logis pada beban pembayarannya. Pembiayaan pembangunan melalui dana pinjaman tersebut juga berpotensi merusak struktur ekonomi secara keseluruhan, atau menjerat Pemerintah dengan beban hutang yang tinggi.
Indonesia saat ini mengalami situasi apa yang disebut Fisher Paradox dalam hubungannya dengan hutang luar negerinya, yaitu situasi semakin banyak cicilan hutang luar negeri dilakukan semakin besar akumulasi hutang luar negerinya. Ini disebabkan cicilan plus bunga hutang luar negeri secara substansial dibiayai oleh hutang baru. Oleh karena nilai cicilan plus bunga hutang luar negeri lebih besar dari nilai hutang baru, maka terjadilah apa yang disebut net transfer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing.
Salah satu bentuk hutang luar ini adalah hutang ADB yang diduga bisa mengentaskan kemiskinan, namun sebaliknya program dan hutang ini semakin memperlebar jurang ketidakadilan, terutama terhadap kaum yang paling rentan: petani, buruh, nelayan, dan perempuan.Faktanya, pengerukan ekonomi-politik yang terjadi saat ini di sektor mineral dan batubara, pertambangan, migas, pertanian dan kelautan sebenarnya dialirkan ke negara-negara maju. Dalam kasus ini, sebenarnya negara-negara miskin dan berkembanglah yang memberikan dana dengan ‘murah’ kepada negara-negara maju. Negara maju macam Amerika Serikat dan Jepang—yang notabene adalah pemodal utama lembaga keuangan seperti ADB—kemudian seakan-akan “menyalurkan” bantuan terhadap negara miskin dan berkembang.
Jadi, ditinjau dari segi positif dan negatifnya, apakah pembiayaan pembangunan yang bersumber pada hutang luar negeri masih efektif?
Indonesia dalam pembiayaan pembangunan memang belum mampu sepenuhnya mandiri. Namun akan lebih baik jika setiap pemerintah lebih mengutamakan untuk lebih berinisiatif dan berinovasi untuk mengembangkan skema-sekam pembiayaan yang dapat mengatasi ketergantungannya pada pembiayaan eksternal lewat peningkatan sumberdaya dalam negeri.
Sebagai contoh Kota Singapura sudah melakukannya, melalui reformasi fiskal, Kota Singapura telah mengatasi dampak krisis ekonomi sekaligus meminimalisasi pinjaman luar negeri. Reformasi ekonomi ini diberlakukannya melalui pemberian pajak efektif bagi warga negaranya, pajak efektif terhadap perusahaan nasional dan trans-nasional, pemberantasan korupsi, pencegahan capital flight serta upaya mengembalikan dana korupsi yang disimpan di luar negeri.
Dalam membangun perkotaan melalui pembiayaan pembangunan yang sehat perlu diupayakan perubahan arah dan paradigma ekonomi mikro dan makro. Baik warga dan Pemerintah harus menyadari bahwa pembiayaan dalam pembangunan perkotaan merupakan tanggung jawab semua warga negara. Semua harus turut berpartisipasi. Misalnya melalui Forced Capital di Singapura, dimana baik Perdana Menteri hingga pekerja konstruksi harus membayar Tabungan Pembangunan dalam jumlah yang sama, walau keduanya dikenakan nilai pajak pendapatan yang berbeda.
Pemerintah pun harus tanggap. Pembiayaan pembangunan harus efektif dan efisien. Pembiayaan pembangunan harus diutamakan untuk pembangunan bukan untuk belanja pegawai. Pemberian subsidi pun harus selektif. Hutang luar negeri harus secepatnya diposisikan kembali hanya sebagai pelengkap dan bersifat sementara seperti dulu ditetapkan waktu menyusun Repelita I dan Repelita II. Dengan merumuskan kembali peran lembaga keuangan terkait keterlibatannya dalam perumusan kebijakan ekonomi, melalui good policy and good governance maka pembiayaan pembangunan perkotaan yang efektif, efesien demi keberlanjutan pembangunan di pekotaan akan dapat terwujud.
Menurut pasal 169-171 UU no. 32 tahun 2004, salah satu smber pendapatan bagi pemerintah daerah adalah dengan melakukan pinjaman dari dalam atau luar negeri dengan persetujuan DPRD. Hal tersebut sejalan dengan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang menyatakan bahawa daerah dapat melakukan pembiayaan daerah melalui berbagai alternatif sumber pembiayaan baru. Misalkan dengan melakukan hutang daerah (local government debt), hutang luar negeri, maupun dengan penjualan obligasi pemerintah daerah kepada masyarakat.
Bila ditinjau dari sisi positif mengenai pembiayaan dengan hutang luar negeri ini, Menurut Devas et.al (1999:221) penggunaan dana pinjaman merupakan salah satu pilihan pembiayaan pembangunan yang memegang peranan penting dalam membuka peluang investasi, dan membangun infrastruktur yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat banyak. Menurutnya, pinjaman daerah dibenarkan karena :
1. Dengan cara meminjam dana untuk menanam modal, pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan di wilayahnya dibandingkan dengan jika kegiatan pembangunannya hanya bergantung pada penerimaan berjalan.
2. Karena manfaat penanaman modal baru dapat dipetik setelah jangka waktu yang panjang, maka sudah seharunya jika biaya dipikul oleh mereka yang akan menikmati manfaatnya dimasa yang akan datang.
Di sisi lain, pembiayaan pembangunan dengan hutang luar negeri ini memiliki dampak negatif. Pada dasarnya, pinjaman juga memiliki konsekuensi. yaitu kewajiban untuk mengembalikan angsuran pokok pinjaman yang disertai dengan bunga, biaya administrasi, serta denda. Oleh karena itu pemerintah harus berhati-hati apabila akan mengambil keputusan untuk melakukan pinjaman.
Hutang luar negeri yang disalurkan oleh negara maju ke negara yang sedang berkembang dan atau negara miskin tidak dilakukan atas dasar kemanusiaan, tetapi dilakukan atas dasar motivasi ekonomi bahkan politik. Hutang luar negeri tidak akan disalurkan tanpa ada keuntungan yang diperoleh negara pemberi hutang. Sesuai amanat dari GBHN bahwa tingkat hutang luar negeri perlu dikurangi, pembahasan ini lebih memfokuskan pada analisis terhadap hutang luar negeri berikut permasalahan dan agenda ke depannya.
Permasalahan hutang luar negeri sekarang telah menjadi fokus perhatian utama meski pada awalnya sendiri hutang luar negeri seperti dimanatkan oleh GBHN tahun 1973 hanya sebagai pelengkap dan pembantu akan tetapi dalam perjalanannya telah terjadi penumpukan stok hutang luar negeri yang relatif tinggi. Posisi hutang yang sudah tinggi tersebut membawa konsekuensi logis pada beban pembayarannya. Pembiayaan pembangunan melalui dana pinjaman tersebut juga berpotensi merusak struktur ekonomi secara keseluruhan, atau menjerat Pemerintah dengan beban hutang yang tinggi.
Indonesia saat ini mengalami situasi apa yang disebut Fisher Paradox dalam hubungannya dengan hutang luar negerinya, yaitu situasi semakin banyak cicilan hutang luar negeri dilakukan semakin besar akumulasi hutang luar negerinya. Ini disebabkan cicilan plus bunga hutang luar negeri secara substansial dibiayai oleh hutang baru. Oleh karena nilai cicilan plus bunga hutang luar negeri lebih besar dari nilai hutang baru, maka terjadilah apa yang disebut net transfer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing.
Salah satu bentuk hutang luar ini adalah hutang ADB yang diduga bisa mengentaskan kemiskinan, namun sebaliknya program dan hutang ini semakin memperlebar jurang ketidakadilan, terutama terhadap kaum yang paling rentan: petani, buruh, nelayan, dan perempuan.Faktanya, pengerukan ekonomi-politik yang terjadi saat ini di sektor mineral dan batubara, pertambangan, migas, pertanian dan kelautan sebenarnya dialirkan ke negara-negara maju. Dalam kasus ini, sebenarnya negara-negara miskin dan berkembanglah yang memberikan dana dengan ‘murah’ kepada negara-negara maju. Negara maju macam Amerika Serikat dan Jepang—yang notabene adalah pemodal utama lembaga keuangan seperti ADB—kemudian seakan-akan “menyalurkan” bantuan terhadap negara miskin dan berkembang.
Jadi, ditinjau dari segi positif dan negatifnya, apakah pembiayaan pembangunan yang bersumber pada hutang luar negeri masih efektif?
Indonesia dalam pembiayaan pembangunan memang belum mampu sepenuhnya mandiri. Namun akan lebih baik jika setiap pemerintah lebih mengutamakan untuk lebih berinisiatif dan berinovasi untuk mengembangkan skema-sekam pembiayaan yang dapat mengatasi ketergantungannya pada pembiayaan eksternal lewat peningkatan sumberdaya dalam negeri.
Sebagai contoh Kota Singapura sudah melakukannya, melalui reformasi fiskal, Kota Singapura telah mengatasi dampak krisis ekonomi sekaligus meminimalisasi pinjaman luar negeri. Reformasi ekonomi ini diberlakukannya melalui pemberian pajak efektif bagi warga negaranya, pajak efektif terhadap perusahaan nasional dan trans-nasional, pemberantasan korupsi, pencegahan capital flight serta upaya mengembalikan dana korupsi yang disimpan di luar negeri.
Dalam membangun perkotaan melalui pembiayaan pembangunan yang sehat perlu diupayakan perubahan arah dan paradigma ekonomi mikro dan makro. Baik warga dan Pemerintah harus menyadari bahwa pembiayaan dalam pembangunan perkotaan merupakan tanggung jawab semua warga negara. Semua harus turut berpartisipasi. Misalnya melalui Forced Capital di Singapura, dimana baik Perdana Menteri hingga pekerja konstruksi harus membayar Tabungan Pembangunan dalam jumlah yang sama, walau keduanya dikenakan nilai pajak pendapatan yang berbeda.
Pemerintah pun harus tanggap. Pembiayaan pembangunan harus efektif dan efisien. Pembiayaan pembangunan harus diutamakan untuk pembangunan bukan untuk belanja pegawai. Pemberian subsidi pun harus selektif. Hutang luar negeri harus secepatnya diposisikan kembali hanya sebagai pelengkap dan bersifat sementara seperti dulu ditetapkan waktu menyusun Repelita I dan Repelita II. Dengan merumuskan kembali peran lembaga keuangan terkait keterlibatannya dalam perumusan kebijakan ekonomi, melalui good policy and good governance maka pembiayaan pembangunan perkotaan yang efektif, efesien demi keberlanjutan pembangunan di pekotaan akan dapat terwujud.
Selasa, 10 Januari 2012
Manajemen Kota dengan Kombinasi antara Sistem Bottom Up dan Top Down (Study Kasus Penataan Kawasan Permukiman)
Menurut SK Mendagri No. 65 tahun 1995. Manajemen Kota adalah pengelolaan sumber daya perkotaan yang berkaitan dengan bidang-bidang tata ruang, lahan, ekonomi, keuangan, lingkungan hidup, pelayanan jasa, investasi, prasarana dan sarana perkotaan; serta disebutkan pula bahwa pengelola perkotaan adalah para pejabat (Pemerintah) pengelola perkotaan. Manajemen Kota meliputi pula kesejahteraan warga kota dalam arti yang luas. Atas dasar ini fungsi-fungsi yang dilaksanakan oleh manajemen perkotaan biasanya meliputi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perkembangan kota.
Manajemen kota dengan sistem Top Down artinya adalah perencanaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal serta pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program yang berwal dari perencaan hingga proses evaluasi, dimana peran masyarakat tidak begitu berpengaruh. Pada kenyataannya sitem ini tidak dapat menjawab secara keseluruhan masalah penataan kawasan perkotaan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya,dll. Dari tahun ke tahun managemen kota itu selalu terulang dan akibatnya masyarakat yang menjadi korban. Diantaranya yaitu perjalanan menjadi terhambat, masyarakat menjadi pasif, tidak merasa berkepentingan, dan akhirnya justru akan mengalami kemunduran kemampuan dan kemunduran tanggung jawab, berdampak banjir dan kualitas pembangunan pun menjadi tidak tepat guna dan sasaran.
Adapun kelemahan dari sistem “TOP DOWN” adalah :
1. Masyarakat tidak bisa berperan lebih aktif dikarenakan peran pemerintah yang lebih dominan bila dibanding peran dari masyarakat itu sendiri.
2. Masyarakat tidak bisa melihat sebarapa jauh suatu program telah dilaksanakan.
3. Peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari awal hingga akhir.
4. Tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada masyarakat tidak terwujud dikarenakan pemerintah pusat tidak begitu memahami hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat.
5. Masyarakat akan merasa terabaikan karena suara mereka tidak begitu diperhitungkan dalam proses berjalannya suatu proses.
6. Masyarakat menjadi kurang kreatif dengan ide-ide mereka.
Melihat permasalahan tersebut Pemerintah dalam manajemen kota tidak lagi menggunakan sistem Top-Down akan tetapi dengan menggunakan sistem Bottom Up. Artinya adalah perencanaan yang dilakukan masyarakat lebih berperan dalam hal pemberian gagasan awal sampai dengan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan sedangkan pemerintah pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam suatu jalannya program. Inti dari sitem bottom up ini yaitu partisipasi masyarakat memiliki andil yang besar dalam manajemen kota. Akan tetapi sistem ini juga memiliki kekurangan tersendiri.
Kelemahan dari sistem “BOTTOM UP” adalah
1. Pemerintah akan tidak begitu berharga karena perannya tidak begitu besar.
2. Hasil dari suatu program tersebut belum tentu biak karena adanya perbadaan tingkat pendidikan dan bisa dikatakn cukup rendah bila dibanding para pegawai pemerintahan.
3. Hubungan masyarakat dengan pemerintah tidak akan berlan lebih baik karena adanya silih faham atau munculnya ide-ide yang berbeda dan akan menyebabkan kerancuan bahkan salah faham antara masyarakat dengan pemerintah dikarenakan kurang jelasnya masing-masing tugas dari pemerintah dan juga masyarakat.
Pada dasarnya, tidak semua manajemen kota dengan sistem top down keliru dan tidak semua manajemen kota dengan sistem bottom up benar. Tetapi, jika prinsip pengelolaan pembangunan yang diterapkan merupakan kombinasi antara kedua prinsip tersebut, maka pengelolaan pembangunan yang berpihak pada masyarakat pasti terjawab. Oleh karena itu, sistem yang dianggap paling baik adalah suatu sistem gabungan dari kedua janis sistem tersebut karena banyak sekali kelebihan yang terdapat didalamya antara lain adalah selain masyarakat mampu berkreasi dalam mengembangkan ide-ide mereka sehingga mampu berjalan beriringan bersama dengan pemerintah sesuai dengan tujuan utama yang diinginkan dalam mencapai kesuksesan dalam menjalankan suatu program tersebut.
Berikut ini adalah contoh penerapan Manajemen Kota dengan kombinasi dari sistem top down dan sistem bottom up dalam pengembangan kawasan permukiman. Manajemen kota berbasis partisipasi masyarakat ( dengan kombinasi prinsip sistem top down dan bottom up) dapat dilakukan dalam bentuk pengembangan permukiman zonasi berbasis kampung. Dalam program ini, pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal dalam pengembangan tata ruang mikro. Pengembangan ini dapat membangun tata ruang mikro yang lebih mudah dikontrol oleh stakeholder yang terkait, yaitu warga kampung itu sendiri. Sebagai contoh kasus, di kota-kota kecil sampai sedang elemen perumahan atau fungsi campuran (rumah-toko, rumah-warung, rumah-bengkel, rumah-kebun) menjadi unsur yang mendominasi wujud fisik kota-kota. Pola tata kelola kawasan permukiman tersebut mencerminkan eratnya hubungan antara tempat tinggal dan mata pencaharian.
Kombinasi kedua prinsip ini (top down dan bottom up) dalam penataan kawasan permukiman juga diperlukan untuk peningkatan kelestarian lingkungan dan penanganan masalah banjir. Sejalan dengan makin terasanya dampak perubahan iklim global, ditambah lagi dengan perubahan penggunaan lahan di kawasan hulu, serta pembangunan-pembangunan yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan, acap kali terjadi bencana (misalnya : banjir). Pada dasarnya, bencana ini disebabkan oleh tidak terkendalinya pembangunan perumahan dan permukiman di sepanjang daerah resapan air, bahkan di sepanjang bantaran sungai dan badan-badan air lainnya
Oleh karena itu dalam pengembangan kawasan permukiman perlu melibatkan partisipasi masyarakat melalui institusi warga yang dibentuk untuk menyelenggarakan tata kelola kewilayahan (area governance), perencanaan tersebut difasilitasi untuk mengarah pada model pembangunan permukiman yang lestari dan berkelanjutan dengan menerapkan kawasan budidaya dan kawasan penyangga secara mikro. Pemerintah dalam hal ini memberikan masukan gagasan awal aturan dasar pengelolaan wilayah dan penangan masalah. Sedangkan masyarakat memiliki andil dalam mewujudkan rencana tersebut. Melalui sistem tata kelola kewilayahan mikro yang baik, maka hal-hal yang terkait dengan pencegahan dan pengendalian banjir aka lebih mudah dilakukan, karena di dalamnya warga juga diajak untuk menciptakan lingkungan yang lestari melalui pembangunan permukiman yang memperhatikan keseimbangan ekologis di dalamnya. Karena aturan pengembangan dibuat sendiri oleh warga (dengan panduan dari pemerintah kota), tentu saja warga akan berusaha mengontrol antar sesama mereka.
Model ini bisa diintegrasikan dengan tata ruang makro (skala kota) secara bertahap dan berkesinambungan melalui sistem fasilitasi antar wilayah yang kemudian membentuk satuan wilayah perkotaan. Pada tingkat satuan wilayah perkotaan keberadaan permukiman kota sudah perlu diintegrasikan dengan berbagai fasilitas pendukung kota seperti pasar, terminal, sarana pendidikan terpadu, puskesmas terpadu, layanan jasa terpadu (kantor pos, telepon, internet, layanan informasi, bank/ lembaga keuangan mikro, layanan hukum dan sebagainya).
Manajemen kota dengan kombinasi prinsip sistem top down dan bottom up ini juga membantu dalam pembiayaan pembangunan. Pemerintah yang dalam pembiayaan pembangunan memiliki anggaran yang terbatas dapat dibantu dengan pembiayaan swadaya oleh masyarakat. Selanjutnya, hal ini dapat mencegah dari penggunaan pembiayaan pembangunan dengan hutang luar negeri.
Kesimpuannya, tidak ada pendekatan pembangunan yang ekstrem top down dan juga tidak ada yang ekstrem bottom up. Tidak semua manajemen kota dengan sistem top down keliru dan tidak semua manajemen kota dengan sistem bottom up benar. Tetapi, jika prinsip pengelolaan pembangunan yang diterapkan merupakan kombinasi antara kedua prinsip tersebut, maka pengelolaan pembangunan yang berpihak pada masyarakat dapat terjawab. Terlepas dari tingkat perkembangan masyarakat, proses pembangunan harus menjadi proses belajar hadap masalah (problem possing) bagi masyarakat untuk terus berkembang kemampuan dan kemauannya. Proses pembangunan harus mendorong daur maju perkembangan masyarakat.
Manajemen kota dengan sistem Top Down artinya adalah perencanaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal serta pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program yang berwal dari perencaan hingga proses evaluasi, dimana peran masyarakat tidak begitu berpengaruh. Pada kenyataannya sitem ini tidak dapat menjawab secara keseluruhan masalah penataan kawasan perkotaan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya,dll. Dari tahun ke tahun managemen kota itu selalu terulang dan akibatnya masyarakat yang menjadi korban. Diantaranya yaitu perjalanan menjadi terhambat, masyarakat menjadi pasif, tidak merasa berkepentingan, dan akhirnya justru akan mengalami kemunduran kemampuan dan kemunduran tanggung jawab, berdampak banjir dan kualitas pembangunan pun menjadi tidak tepat guna dan sasaran.
Adapun kelemahan dari sistem “TOP DOWN” adalah :
1. Masyarakat tidak bisa berperan lebih aktif dikarenakan peran pemerintah yang lebih dominan bila dibanding peran dari masyarakat itu sendiri.
2. Masyarakat tidak bisa melihat sebarapa jauh suatu program telah dilaksanakan.
3. Peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari awal hingga akhir.
4. Tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada masyarakat tidak terwujud dikarenakan pemerintah pusat tidak begitu memahami hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat.
5. Masyarakat akan merasa terabaikan karena suara mereka tidak begitu diperhitungkan dalam proses berjalannya suatu proses.
6. Masyarakat menjadi kurang kreatif dengan ide-ide mereka.
Melihat permasalahan tersebut Pemerintah dalam manajemen kota tidak lagi menggunakan sistem Top-Down akan tetapi dengan menggunakan sistem Bottom Up. Artinya adalah perencanaan yang dilakukan masyarakat lebih berperan dalam hal pemberian gagasan awal sampai dengan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan sedangkan pemerintah pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam suatu jalannya program. Inti dari sitem bottom up ini yaitu partisipasi masyarakat memiliki andil yang besar dalam manajemen kota. Akan tetapi sistem ini juga memiliki kekurangan tersendiri.
Kelemahan dari sistem “BOTTOM UP” adalah
1. Pemerintah akan tidak begitu berharga karena perannya tidak begitu besar.
2. Hasil dari suatu program tersebut belum tentu biak karena adanya perbadaan tingkat pendidikan dan bisa dikatakn cukup rendah bila dibanding para pegawai pemerintahan.
3. Hubungan masyarakat dengan pemerintah tidak akan berlan lebih baik karena adanya silih faham atau munculnya ide-ide yang berbeda dan akan menyebabkan kerancuan bahkan salah faham antara masyarakat dengan pemerintah dikarenakan kurang jelasnya masing-masing tugas dari pemerintah dan juga masyarakat.
Pada dasarnya, tidak semua manajemen kota dengan sistem top down keliru dan tidak semua manajemen kota dengan sistem bottom up benar. Tetapi, jika prinsip pengelolaan pembangunan yang diterapkan merupakan kombinasi antara kedua prinsip tersebut, maka pengelolaan pembangunan yang berpihak pada masyarakat pasti terjawab. Oleh karena itu, sistem yang dianggap paling baik adalah suatu sistem gabungan dari kedua janis sistem tersebut karena banyak sekali kelebihan yang terdapat didalamya antara lain adalah selain masyarakat mampu berkreasi dalam mengembangkan ide-ide mereka sehingga mampu berjalan beriringan bersama dengan pemerintah sesuai dengan tujuan utama yang diinginkan dalam mencapai kesuksesan dalam menjalankan suatu program tersebut.
Berikut ini adalah contoh penerapan Manajemen Kota dengan kombinasi dari sistem top down dan sistem bottom up dalam pengembangan kawasan permukiman. Manajemen kota berbasis partisipasi masyarakat ( dengan kombinasi prinsip sistem top down dan bottom up) dapat dilakukan dalam bentuk pengembangan permukiman zonasi berbasis kampung. Dalam program ini, pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal dalam pengembangan tata ruang mikro. Pengembangan ini dapat membangun tata ruang mikro yang lebih mudah dikontrol oleh stakeholder yang terkait, yaitu warga kampung itu sendiri. Sebagai contoh kasus, di kota-kota kecil sampai sedang elemen perumahan atau fungsi campuran (rumah-toko, rumah-warung, rumah-bengkel, rumah-kebun) menjadi unsur yang mendominasi wujud fisik kota-kota. Pola tata kelola kawasan permukiman tersebut mencerminkan eratnya hubungan antara tempat tinggal dan mata pencaharian.
Kombinasi kedua prinsip ini (top down dan bottom up) dalam penataan kawasan permukiman juga diperlukan untuk peningkatan kelestarian lingkungan dan penanganan masalah banjir. Sejalan dengan makin terasanya dampak perubahan iklim global, ditambah lagi dengan perubahan penggunaan lahan di kawasan hulu, serta pembangunan-pembangunan yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan, acap kali terjadi bencana (misalnya : banjir). Pada dasarnya, bencana ini disebabkan oleh tidak terkendalinya pembangunan perumahan dan permukiman di sepanjang daerah resapan air, bahkan di sepanjang bantaran sungai dan badan-badan air lainnya
Oleh karena itu dalam pengembangan kawasan permukiman perlu melibatkan partisipasi masyarakat melalui institusi warga yang dibentuk untuk menyelenggarakan tata kelola kewilayahan (area governance), perencanaan tersebut difasilitasi untuk mengarah pada model pembangunan permukiman yang lestari dan berkelanjutan dengan menerapkan kawasan budidaya dan kawasan penyangga secara mikro. Pemerintah dalam hal ini memberikan masukan gagasan awal aturan dasar pengelolaan wilayah dan penangan masalah. Sedangkan masyarakat memiliki andil dalam mewujudkan rencana tersebut. Melalui sistem tata kelola kewilayahan mikro yang baik, maka hal-hal yang terkait dengan pencegahan dan pengendalian banjir aka lebih mudah dilakukan, karena di dalamnya warga juga diajak untuk menciptakan lingkungan yang lestari melalui pembangunan permukiman yang memperhatikan keseimbangan ekologis di dalamnya. Karena aturan pengembangan dibuat sendiri oleh warga (dengan panduan dari pemerintah kota), tentu saja warga akan berusaha mengontrol antar sesama mereka.
Model ini bisa diintegrasikan dengan tata ruang makro (skala kota) secara bertahap dan berkesinambungan melalui sistem fasilitasi antar wilayah yang kemudian membentuk satuan wilayah perkotaan. Pada tingkat satuan wilayah perkotaan keberadaan permukiman kota sudah perlu diintegrasikan dengan berbagai fasilitas pendukung kota seperti pasar, terminal, sarana pendidikan terpadu, puskesmas terpadu, layanan jasa terpadu (kantor pos, telepon, internet, layanan informasi, bank/ lembaga keuangan mikro, layanan hukum dan sebagainya).
Manajemen kota dengan kombinasi prinsip sistem top down dan bottom up ini juga membantu dalam pembiayaan pembangunan. Pemerintah yang dalam pembiayaan pembangunan memiliki anggaran yang terbatas dapat dibantu dengan pembiayaan swadaya oleh masyarakat. Selanjutnya, hal ini dapat mencegah dari penggunaan pembiayaan pembangunan dengan hutang luar negeri.
Kesimpuannya, tidak ada pendekatan pembangunan yang ekstrem top down dan juga tidak ada yang ekstrem bottom up. Tidak semua manajemen kota dengan sistem top down keliru dan tidak semua manajemen kota dengan sistem bottom up benar. Tetapi, jika prinsip pengelolaan pembangunan yang diterapkan merupakan kombinasi antara kedua prinsip tersebut, maka pengelolaan pembangunan yang berpihak pada masyarakat dapat terjawab. Terlepas dari tingkat perkembangan masyarakat, proses pembangunan harus menjadi proses belajar hadap masalah (problem possing) bagi masyarakat untuk terus berkembang kemampuan dan kemauannya. Proses pembangunan harus mendorong daur maju perkembangan masyarakat.
Senin, 31 Oktober 2011
PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI WILAYAH PESISIR SELATAN KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI WILAYAH
PESISIR SELATAN KABUPATEN BANTUL
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Oleh Evi Akbarwati . NRP 3609100046. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
Kekayaan alam merupakan sumberdaya utama yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi wilayah. Salah satu andalan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada era otonomi daerah adalah sektor kepariwisataan, dengan sifatnya yang multi sektor dan multi efek berpotensi untuk menghasilkan pendapatan yang besar. Dengan berkembangnya sektor kepariwisataan akan menghasilkan pendapatan wilayah dari berbagai sisi diantaranya retribusi masuk obyek wisata, pajak hotel, restoran dan industri makanan, perijinan usaha pariwisata maupun penyerapan tenaga kerja dari sektor formal maupun informal.
Kabupaten Bantul memiliki potensi wisata cukup berlimpah dan bervariasi. Obyek wisata di Bantul dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu wisata alam serta wisata budaya dan sejarah. Kegiatan pariwisata merupakan kegiatan yang strategis untuk dikembangkan di Kabupaten Bantul dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah dan memperluas lapangan usaha dan kesempatan kerja. Masyarakat di wilayah pesisir Kabupaten Bantul sejak lama mengandalkan pemenuhan kebutuhan hidup dari kegiatan pertanian dan pariwisata (Asyiawati et. al., 2002). Kegiatan pariwisata yang dilakukan di Kabupaten Bantul didominasi oleh obyek wisata pantai sebagai komoditas unggulan wilayah. Tujuan penelitian untuk mengetahui potensi dan peluang pengembangan obyek dan daya tarik wisata bahari di wilayah pesisir selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Dari hasil observasi diketahui bahwa minat pengunjung tertuju pada obyek wisata alam pantai, wisata budaya dan kesenian dan pembentukan gumuk pasir (sand dunes). Jenis obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di wilayah penelitian berupa wisata alam, wisata sejarah/budaya, dan taman rekreasi. Sebaran obyek dan daya tarik wisata di wilayah pesisir Kabupaten Bantul tercantum pada Tabel 1.
Diantara jenis obyek tujuan wisata yang ada, yang mengalami perkembangan yang cukup pesat dilihat dari minat para pengunjung pada tahun terakhir adalah wisata alam pantai, wisata budaya (berupa upacara labuhan), dan pengamatan pembentukan gumuk pasir di Parangtritis, hal ini ditandai dengan banyaknya kunjungan wisatawan. Jumlah wisatawan yang berkunjung pada obyek wisata pantai yang terdiri dari Pantai Pandansimo, Samas dan Parangtritis pada tahun 2001 adalah 1,756,874 jiwa dengan laju pertumbuhan pengunjung sebesar 7,89% per tahun yang dihitung mulai tahun 1997. Yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan adalah Pantai Parangtritis, hal ini disebabkan karena banyaknya obyek dan daya tarik wisata serta didukung dengan penyediaan fasilitas yang memadai dibandingkan dengan obyek tujuan wisata lainnya. Jumlah wisatawan yang berkunjung pada obyek daerah tujuan wisata di wilayah pesisir Kabupaten Bantul tercantum dalam Tabel 2.
Hal ini membuktikan bahwasannya, suatu daerah wisata membutuhkan ketersediaan fasilitas yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengunjung ke pesisir pantai parangtritis. Padahal pesisir pantai samas dan pandansimo tidak kalah indah dengan pantai parangtritis, akan tetapi karena kurangnya penyediaan fasilitas di pantai Samas dan Pandansimo, pengunjungnya menjadi sedikit.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bantul salah satunya bersumberkan dari sektor pariwisata. Pendapatan dari obyek wisata pantai memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PAD Kabupaten Bantul. Hal ini terlihat dari jumlah pendapatan yang diterima dari masing-masing obyek tujuan wisata yang terdapat di Kabupaten Bantul. Jumlah pendapatan sektor pariwisata Kabupaten Bantul pada tahun 2001 adalah sebesar Rp. 2.584.728.500,-, yang berasal dari enam obyek tujuan wisata. Wisata pantai memberikan kontribusi terhadap pendapatan sektor pariwisata Kabupaten Bantul sebesar Rp. 2.556.898.250,- atau 98,92% dari jumlah pendapatan keseluruhan sektor pariwisata, dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 31,90% per tahun yang dihitung mulai tahun 1997 (Tabel 3.). Oleh karena itu obyek wisata pantai merupakan asset yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Bantul untuk meningkatkan pendapatan daerah
Seperti yang disebutkan di atas bahwasannya pantai merupakan asset yang potensial untuk dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah, maka perencanaan kawasan pesisir pantai merupakan hal yang penting untuk dikembangkan. Hal ini dapat dilakukan denga membuat perencanaan kawasan pesisir yang unggul. Dalam perencanaan pada objek wisata sangat perlu mempertimbangkan mata pencaharian dan lapangan kerja masyarkat di sekitar pantai. Sehingga adanya penigkatan objek wisata, tidak semakin mematikan usaha masyarakt sekitar, namun semakin meningkatkan usaha mererka, baik secara kuantitas maupun kualitas. Dengan demikian, potensi objek wisata dan sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Dalam menunjang kegiatan wisata diperlukan dukungan dari potensi budaya daerah, karena hal ini sangat membantu upaya pemasaran wisata yang dilakukan. Obyek budaya mempunyai bentuk dan corak yang sangat beragam dan berbeda untuk setiap kawasan, dan budaya tersebut terus dipertahankan oleh masyarakat di wilayah penelitian untuk menarik para wisatawan. Pada umumnya budaya masyarakat di wilayah penelitian didominasi oleh budaya Jawa karena mayoritas etnis penduduk di wilayah penelitian merupakan etnis Jawa. Adapun kegiatan-kegiatan budaya yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah penelitian adalah upacara adat dan kesenian. Kegiatan-kegiatan upacara adat yang unik dilakukan di wilayah penelitian meliputi Upacara adat Desa, Bekti Pertiwi, dan Upacara Labuhan Kraton Yogyakarta.
Penjagaan dan pelestarian akan budaya asli daerah merupakan hal yang dapat memberikan nilai tambah pada kawasan objek wisata. Selain dapat menjaga keaslian dari budaya, namun adanya pelestarian budaya asli daerah dapat menjadi icon bagi daerah tersebut sekaligus faktor yang menarik wisatawan untuk berkunjung.
Faktor yang berpengaruh dalam kurang berkembangnya wisata bahari di Bantul terbagi dalam dua hal yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi :
1) Penerapan kebijakan pemerintah daerah tentang pengembangan obyek wisata belum optimal dilakukan, meskipun potensi cukup tersedia,
2) Strategi promosi wisata cenderung konvensional,
3) Pelayanan Prima kepada wisatawan masih kurang terutama implementasi Sapta Pesona
4) Lemahnya koordinasi antara pelaku pariwisata, Pemerintah Daerah dan pihak terkait.
Faktor eksternal meliputi :
1) Kondisi perekonomian nasional yang belum mantap dan
2) Citra negatif keamanan dan kenyamanan wisata di Indonesia.
Oleh karena itu, pengembangan obyek wisata bahari di Kabupaten Bantul dapat dilakukan dengan beberapa langkah yaitu :
1) Implementasi kebijakan pengembangan pariwisata berdasarkan hasil studi pengembangan obyek wisata yang pernah dilakukan lembaga terkait,
2) Strategi promosi dengan penerapan teknologi informasi melalui media elektronik terutama internet dengan membuka situs pariwisata Bantul, dilengkapi dengan data yang terbaru,
3) Implementasi Sapta Pesona pariwisata (aman, indah, tertib, bersih, ramah-tamah dan kenangan), kualitas pelayanan kepariwisataan yang baik merupakan sarana promosi yang efektif untuk meningkatkan jumlah wisatawan,
4) Pemulihan kondisi ekonomi nasional dan jaminan keamanan dan kenyamanan berwisata,
5) Menambah event-event wisata dan diversifikasi produk wisata, festival budaya lokal (upacara adat), pertunjukan kesenian (seni tari, theater dan seni musik) dan aspek kelestarian lingkungan (konservasi penyu), pembenahan fasilitas dan akses obyek wisata diantaranya taman bermain, akuarium biota laut, marine science tour, pencitraan baru semisal dengan Parangtritis dengan citra baru sebagai daerah wisata kuliner masakan laut yang murah dan higienis dan penataan lingkungan sekitar pantai berpeluang meningkatkan pendapatan masyarakat dan wilayah.
Bila meninjau kasus lain mengenai pengembangan potensi objek wisata bahari Indonesia , salah satu objek wiata bahari yang relevan untuk diconton adalah pengemabangan wisata bahari di kawasan pesisir pulau Bali. Terbukti dengan ramainya pengunjung wisata, baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Objek wisata bahari di pantai sanur dan kute, telah dikembangkan dengan baik, yaitu dari segi objek wisata, fasilitas, kebijakan, penataan, kelestarian keaslian budaya, promosi/pemasaran, dll. Selain dapat meningkatkan pendapatan daerah, masyarakat di sekitar pantai tersebut juga mengalami peningkatan baik dari segi penghasilan maupun usahan/mata pencaharian mereka. Potensi yang ada di sana telah dikembangkan dengan cukup baik. Wisata bahari di wilayah pesisir selatan Kabupaten Bantul memiliki potensi yang sama seperti di Bali Sehingga memiliki prospek kedepan yang baik. Hal ini bergantung pada perencanaan dan pemenuhan fasilitas dan kebijakan dari Pemerintah.
Kesimpulan
1. Minat pengunjung obyek wisata di kawasan pesisir Kabupaten Bantul tertuju pada obyek wisata alam pantai, wisata budaya dan kesenian dan pembentukan gumuk pasir (sand dunes).
2. Jumlah pengunjung obyek tujuan wisata pantai pada tahun 1997 mencapai 1.335.618 orang, meningkat menjadi 1.756.874 orang pada tahun 2002 dengan laju peningkatan mencapai 7,89% per tahun. Pendapatan wisata pantai pada tahun 2001 memberikan kontribusi sebesar Rp 2.556.898.250 atau 98,92% terhadap pendapatan sektor pariwisata Kabupaten Bantul, dengan laju pertumbuhan sebesar 31,90% per tahun selama periode 1997-2001.
3. Pengembangan obyek wisata bahari di Kabupaten Bantul dapat dilakukan dengan
a) Implementasi kebijakan pengembangan pariwisata berdasar-kan hasil studi pengembangan obyek wisata yang pernah dilakukan lembaga terkait,
b) Strategi promosi dengan penerapan teknologi informasi melalui media elektronik terutama internet dengan membuka situs pari-wisata,
c) Implementasi Sapta Pesona pariwisata (aman, indah, tertib, bersih, ramah-tamah dan kenangan),
d) Pemulihan kondisi ekonomi nasional dan jaminan keamanan dan kenyamanan
berwisata,
e) Menambah event-event wisata dan diversifikasi produk wisata, aspek kelestarian lingkungan dan pembenahan fasilitas dan akses obyek wisata diantaranya taman bermain, akuarium biota laut, marine science tour, dan penataan lingkungan sekitar pantai.
sumber : Jurnal PWK Unisba YULIA ASYIAWATI DAN SINUNG RUSTIJARNO 1
PESISIR SELATAN KABUPATEN BANTUL
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Oleh Evi Akbarwati . NRP 3609100046. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
Kekayaan alam merupakan sumberdaya utama yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi wilayah. Salah satu andalan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada era otonomi daerah adalah sektor kepariwisataan, dengan sifatnya yang multi sektor dan multi efek berpotensi untuk menghasilkan pendapatan yang besar. Dengan berkembangnya sektor kepariwisataan akan menghasilkan pendapatan wilayah dari berbagai sisi diantaranya retribusi masuk obyek wisata, pajak hotel, restoran dan industri makanan, perijinan usaha pariwisata maupun penyerapan tenaga kerja dari sektor formal maupun informal.
Kabupaten Bantul memiliki potensi wisata cukup berlimpah dan bervariasi. Obyek wisata di Bantul dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu wisata alam serta wisata budaya dan sejarah. Kegiatan pariwisata merupakan kegiatan yang strategis untuk dikembangkan di Kabupaten Bantul dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah dan memperluas lapangan usaha dan kesempatan kerja. Masyarakat di wilayah pesisir Kabupaten Bantul sejak lama mengandalkan pemenuhan kebutuhan hidup dari kegiatan pertanian dan pariwisata (Asyiawati et. al., 2002). Kegiatan pariwisata yang dilakukan di Kabupaten Bantul didominasi oleh obyek wisata pantai sebagai komoditas unggulan wilayah. Tujuan penelitian untuk mengetahui potensi dan peluang pengembangan obyek dan daya tarik wisata bahari di wilayah pesisir selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Dari hasil observasi diketahui bahwa minat pengunjung tertuju pada obyek wisata alam pantai, wisata budaya dan kesenian dan pembentukan gumuk pasir (sand dunes). Jenis obyek dan daya tarik wisata yang terdapat di wilayah penelitian berupa wisata alam, wisata sejarah/budaya, dan taman rekreasi. Sebaran obyek dan daya tarik wisata di wilayah pesisir Kabupaten Bantul tercantum pada Tabel 1.
Diantara jenis obyek tujuan wisata yang ada, yang mengalami perkembangan yang cukup pesat dilihat dari minat para pengunjung pada tahun terakhir adalah wisata alam pantai, wisata budaya (berupa upacara labuhan), dan pengamatan pembentukan gumuk pasir di Parangtritis, hal ini ditandai dengan banyaknya kunjungan wisatawan. Jumlah wisatawan yang berkunjung pada obyek wisata pantai yang terdiri dari Pantai Pandansimo, Samas dan Parangtritis pada tahun 2001 adalah 1,756,874 jiwa dengan laju pertumbuhan pengunjung sebesar 7,89% per tahun yang dihitung mulai tahun 1997. Yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan adalah Pantai Parangtritis, hal ini disebabkan karena banyaknya obyek dan daya tarik wisata serta didukung dengan penyediaan fasilitas yang memadai dibandingkan dengan obyek tujuan wisata lainnya. Jumlah wisatawan yang berkunjung pada obyek daerah tujuan wisata di wilayah pesisir Kabupaten Bantul tercantum dalam Tabel 2.
Hal ini membuktikan bahwasannya, suatu daerah wisata membutuhkan ketersediaan fasilitas yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengunjung ke pesisir pantai parangtritis. Padahal pesisir pantai samas dan pandansimo tidak kalah indah dengan pantai parangtritis, akan tetapi karena kurangnya penyediaan fasilitas di pantai Samas dan Pandansimo, pengunjungnya menjadi sedikit.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bantul salah satunya bersumberkan dari sektor pariwisata. Pendapatan dari obyek wisata pantai memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PAD Kabupaten Bantul. Hal ini terlihat dari jumlah pendapatan yang diterima dari masing-masing obyek tujuan wisata yang terdapat di Kabupaten Bantul. Jumlah pendapatan sektor pariwisata Kabupaten Bantul pada tahun 2001 adalah sebesar Rp. 2.584.728.500,-, yang berasal dari enam obyek tujuan wisata. Wisata pantai memberikan kontribusi terhadap pendapatan sektor pariwisata Kabupaten Bantul sebesar Rp. 2.556.898.250,- atau 98,92% dari jumlah pendapatan keseluruhan sektor pariwisata, dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 31,90% per tahun yang dihitung mulai tahun 1997 (Tabel 3.). Oleh karena itu obyek wisata pantai merupakan asset yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Bantul untuk meningkatkan pendapatan daerah
Seperti yang disebutkan di atas bahwasannya pantai merupakan asset yang potensial untuk dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah, maka perencanaan kawasan pesisir pantai merupakan hal yang penting untuk dikembangkan. Hal ini dapat dilakukan denga membuat perencanaan kawasan pesisir yang unggul. Dalam perencanaan pada objek wisata sangat perlu mempertimbangkan mata pencaharian dan lapangan kerja masyarkat di sekitar pantai. Sehingga adanya penigkatan objek wisata, tidak semakin mematikan usaha masyarakt sekitar, namun semakin meningkatkan usaha mererka, baik secara kuantitas maupun kualitas. Dengan demikian, potensi objek wisata dan sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Dalam menunjang kegiatan wisata diperlukan dukungan dari potensi budaya daerah, karena hal ini sangat membantu upaya pemasaran wisata yang dilakukan. Obyek budaya mempunyai bentuk dan corak yang sangat beragam dan berbeda untuk setiap kawasan, dan budaya tersebut terus dipertahankan oleh masyarakat di wilayah penelitian untuk menarik para wisatawan. Pada umumnya budaya masyarakat di wilayah penelitian didominasi oleh budaya Jawa karena mayoritas etnis penduduk di wilayah penelitian merupakan etnis Jawa. Adapun kegiatan-kegiatan budaya yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah penelitian adalah upacara adat dan kesenian. Kegiatan-kegiatan upacara adat yang unik dilakukan di wilayah penelitian meliputi Upacara adat Desa, Bekti Pertiwi, dan Upacara Labuhan Kraton Yogyakarta.
Penjagaan dan pelestarian akan budaya asli daerah merupakan hal yang dapat memberikan nilai tambah pada kawasan objek wisata. Selain dapat menjaga keaslian dari budaya, namun adanya pelestarian budaya asli daerah dapat menjadi icon bagi daerah tersebut sekaligus faktor yang menarik wisatawan untuk berkunjung.
Faktor yang berpengaruh dalam kurang berkembangnya wisata bahari di Bantul terbagi dalam dua hal yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi :
1) Penerapan kebijakan pemerintah daerah tentang pengembangan obyek wisata belum optimal dilakukan, meskipun potensi cukup tersedia,
2) Strategi promosi wisata cenderung konvensional,
3) Pelayanan Prima kepada wisatawan masih kurang terutama implementasi Sapta Pesona
4) Lemahnya koordinasi antara pelaku pariwisata, Pemerintah Daerah dan pihak terkait.
Faktor eksternal meliputi :
1) Kondisi perekonomian nasional yang belum mantap dan
2) Citra negatif keamanan dan kenyamanan wisata di Indonesia.
Oleh karena itu, pengembangan obyek wisata bahari di Kabupaten Bantul dapat dilakukan dengan beberapa langkah yaitu :
1) Implementasi kebijakan pengembangan pariwisata berdasarkan hasil studi pengembangan obyek wisata yang pernah dilakukan lembaga terkait,
2) Strategi promosi dengan penerapan teknologi informasi melalui media elektronik terutama internet dengan membuka situs pariwisata Bantul, dilengkapi dengan data yang terbaru,
3) Implementasi Sapta Pesona pariwisata (aman, indah, tertib, bersih, ramah-tamah dan kenangan), kualitas pelayanan kepariwisataan yang baik merupakan sarana promosi yang efektif untuk meningkatkan jumlah wisatawan,
4) Pemulihan kondisi ekonomi nasional dan jaminan keamanan dan kenyamanan berwisata,
5) Menambah event-event wisata dan diversifikasi produk wisata, festival budaya lokal (upacara adat), pertunjukan kesenian (seni tari, theater dan seni musik) dan aspek kelestarian lingkungan (konservasi penyu), pembenahan fasilitas dan akses obyek wisata diantaranya taman bermain, akuarium biota laut, marine science tour, pencitraan baru semisal dengan Parangtritis dengan citra baru sebagai daerah wisata kuliner masakan laut yang murah dan higienis dan penataan lingkungan sekitar pantai berpeluang meningkatkan pendapatan masyarakat dan wilayah.
Bila meninjau kasus lain mengenai pengembangan potensi objek wisata bahari Indonesia , salah satu objek wiata bahari yang relevan untuk diconton adalah pengemabangan wisata bahari di kawasan pesisir pulau Bali. Terbukti dengan ramainya pengunjung wisata, baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Objek wisata bahari di pantai sanur dan kute, telah dikembangkan dengan baik, yaitu dari segi objek wisata, fasilitas, kebijakan, penataan, kelestarian keaslian budaya, promosi/pemasaran, dll. Selain dapat meningkatkan pendapatan daerah, masyarakat di sekitar pantai tersebut juga mengalami peningkatan baik dari segi penghasilan maupun usahan/mata pencaharian mereka. Potensi yang ada di sana telah dikembangkan dengan cukup baik. Wisata bahari di wilayah pesisir selatan Kabupaten Bantul memiliki potensi yang sama seperti di Bali Sehingga memiliki prospek kedepan yang baik. Hal ini bergantung pada perencanaan dan pemenuhan fasilitas dan kebijakan dari Pemerintah.
Kesimpulan
1. Minat pengunjung obyek wisata di kawasan pesisir Kabupaten Bantul tertuju pada obyek wisata alam pantai, wisata budaya dan kesenian dan pembentukan gumuk pasir (sand dunes).
2. Jumlah pengunjung obyek tujuan wisata pantai pada tahun 1997 mencapai 1.335.618 orang, meningkat menjadi 1.756.874 orang pada tahun 2002 dengan laju peningkatan mencapai 7,89% per tahun. Pendapatan wisata pantai pada tahun 2001 memberikan kontribusi sebesar Rp 2.556.898.250 atau 98,92% terhadap pendapatan sektor pariwisata Kabupaten Bantul, dengan laju pertumbuhan sebesar 31,90% per tahun selama periode 1997-2001.
3. Pengembangan obyek wisata bahari di Kabupaten Bantul dapat dilakukan dengan
a) Implementasi kebijakan pengembangan pariwisata berdasar-kan hasil studi pengembangan obyek wisata yang pernah dilakukan lembaga terkait,
b) Strategi promosi dengan penerapan teknologi informasi melalui media elektronik terutama internet dengan membuka situs pari-wisata,
c) Implementasi Sapta Pesona pariwisata (aman, indah, tertib, bersih, ramah-tamah dan kenangan),
d) Pemulihan kondisi ekonomi nasional dan jaminan keamanan dan kenyamanan
berwisata,
e) Menambah event-event wisata dan diversifikasi produk wisata, aspek kelestarian lingkungan dan pembenahan fasilitas dan akses obyek wisata diantaranya taman bermain, akuarium biota laut, marine science tour, dan penataan lingkungan sekitar pantai.
sumber : Jurnal PWK Unisba YULIA ASYIAWATI DAN SINUNG RUSTIJARNO 1
Kamis, 13 Januari 2011
Tingginya Pertumbuhan Penduduk Menuntut Peningkatan Sarana Transportasi Umum
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dari hari ke hari menimbulkan suatu permasalahan yang tidak kunjung habis. Permasalahan tersebut menyangkut beberapa aspek, salah satu satunya adalah aspek transportasi. Semakin meningkat jumlah ppopulasi penduduk maka semakin meningkat pula tuntutan akan kebutuhan transportasi.
Transportasi adalah sarana penunjang yang memilki peran penting dalam dalam pembangunan suatu negara, terutama bagi negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya kebutuhan akan moda transportasi. Kebutuhan akan moda transportasi untuk mobilitas manusia, barang dan jasa dari tahun ke tahun semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk. Pertumbuhan populasi penduduk mengakibatkan meningkatnya laju pembangunan pada tiap daerahnya dan semakin tingginya mobilitas manusia, barang, dan jasa. Hal inilah yang menyebabkan kebutuhan akan moda transportasi semakin meningkat.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi bila tidak diiringi dengan peningkatan sarana transportasi yang tersedia, akan menyebakan ketidakseimbangan akan jumlah pemakai dengan kapasitas sarana transportasi.
Seperti yang terjadi saat liburan Natal dan Tahun Baru 2011 kemarin. Liburan cukup panjang yang mencapai hingga tujuh hari tersebut, banyak digunakan oleh masyarakat untuk berlibur dengan keluarga. Akibatnya selama tujuh hari itu pula jalanan semakin padat oleh para pengguna jalan dan kemacetan pun meningkat. Hal ini juga menimbulkan masalah pada sarana transportasi umum, salah satunya adalah sarana transportasi umum kereta api.
Selama tujuh hari liburan tersebut, sarana tranportasi umum kereta api, terutama kelas ekonomi, dipenuhi olah penumpang, dengan jumlah penumpang yang lebih banyak dari hari-hari biasa bahkan melebihi kapasitas volume penumpang dalam setiap gerbong. Dan bukan hanya itu, kedatangan kereta api pun juga mengalami keterlambatan yang lama.
Sebagai contoh, permasalahan yang terjadi di Stasiun Singosari, Malang. Kereta api Penataran kelas ekonomi dengan tujuan Surabaya, yang seharusnya datang pada pukul 15.27 mengalami keterlambatan hingga 3 jam dan baru datang pada pukul 15.29 dan bahkan dengan penumpang yang sudah melebihi kapasitas gerbong. Gerbong kereta api yang kapasitasnya maksimal terisi dengan 105 penumpang, tetapi saat itu, setiap gerbong kereta api mencapai 145-160 penumpang. Tidak dapat dibayangkan betapa penat dan berjejal-jejalnya penumpang saat itu.
Permasalahan ini merupakan gambaran kecil dari permasalahan yang ditimbulkan oleh peningkatan populasi penduduk yang ada. Gambaran mengenai ketidakseimbangan jumlah populasi penduduk yang semakin meningkat dengan jumlah sarana transportasi yang ada dan gambaran mengenai adanya tuntutan peningkatan sarana transportasi seiring dengan petumbuhan jumlah penduduk.
Solusi yang bisa diberikan untuk permasalahan ini adalah dengan adanya penyediaan sarana transportasi yang lebih untuk memenuhi kebutuhan mobilitas yang semakin meningkat. hal ini disebabkan peningkatan populasi penduduk yang sulit untuk dikendalikan, walaupun dapat dikendalikan, namun jumlah populasi penduduk yang ada memang membutuhkan sarana transportasi umum yang lebih.
Selain itu, dalam pemanfaatan sarana transportasi umum, seharusnya dibatasi kapasitas penumpangnya. Hal ini demi menjaga kualitas dari sarana transportasi umum itu sendiri dan demi kenyamanan penumpang. Bila fenomena pengangkutan penumpang yang melebihi kapasitas ini terus berulang , maka dalam kurun waktu yang tidak lama akan menyebabkan rusaknya sarana transportasi umum tersebut.
Sedangkan untuk menangani masalah tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, dapat menggunakan program KB sebagai pengendali. Akan tetapi adanya program KB tidak akan dapat mencapai tujuan pengendalian laju pertumbuhan penduduk, bila masyarakat tidak maus memanfaatkannya. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan sehingga masayarakat terbuka wawasannya, mengenai pentingnya mengendalikan kelahiran anak dan menggunakan layanan KB sebagaimana mestinya. Selain KB juga dapat dilakukan transmigrasi agar pertumbuhan penduduk dapat merata.
Pertumbuhan populasi penduduk akan semakin meningkat tiap harinya. Seiring dengan hal itu mobilitas manusia, barang, dan jasa juga semkain meningkat. Hal ini menyebabkan adanya tuntutan dalam peningkatan sarana transportasi umum yang ada. Oleh karena itu, peningkatan akan kualitas dan kuantitas sarana transportasi umum perlu dipenuhi demi kemajuan pembangunan dan kesejahteraan bersama.
Transportasi adalah sarana penunjang yang memilki peran penting dalam dalam pembangunan suatu negara, terutama bagi negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya kebutuhan akan moda transportasi. Kebutuhan akan moda transportasi untuk mobilitas manusia, barang dan jasa dari tahun ke tahun semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk. Pertumbuhan populasi penduduk mengakibatkan meningkatnya laju pembangunan pada tiap daerahnya dan semakin tingginya mobilitas manusia, barang, dan jasa. Hal inilah yang menyebabkan kebutuhan akan moda transportasi semakin meningkat.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi bila tidak diiringi dengan peningkatan sarana transportasi yang tersedia, akan menyebakan ketidakseimbangan akan jumlah pemakai dengan kapasitas sarana transportasi.
Seperti yang terjadi saat liburan Natal dan Tahun Baru 2011 kemarin. Liburan cukup panjang yang mencapai hingga tujuh hari tersebut, banyak digunakan oleh masyarakat untuk berlibur dengan keluarga. Akibatnya selama tujuh hari itu pula jalanan semakin padat oleh para pengguna jalan dan kemacetan pun meningkat. Hal ini juga menimbulkan masalah pada sarana transportasi umum, salah satunya adalah sarana transportasi umum kereta api.
Selama tujuh hari liburan tersebut, sarana tranportasi umum kereta api, terutama kelas ekonomi, dipenuhi olah penumpang, dengan jumlah penumpang yang lebih banyak dari hari-hari biasa bahkan melebihi kapasitas volume penumpang dalam setiap gerbong. Dan bukan hanya itu, kedatangan kereta api pun juga mengalami keterlambatan yang lama.
Sebagai contoh, permasalahan yang terjadi di Stasiun Singosari, Malang. Kereta api Penataran kelas ekonomi dengan tujuan Surabaya, yang seharusnya datang pada pukul 15.27 mengalami keterlambatan hingga 3 jam dan baru datang pada pukul 15.29 dan bahkan dengan penumpang yang sudah melebihi kapasitas gerbong. Gerbong kereta api yang kapasitasnya maksimal terisi dengan 105 penumpang, tetapi saat itu, setiap gerbong kereta api mencapai 145-160 penumpang. Tidak dapat dibayangkan betapa penat dan berjejal-jejalnya penumpang saat itu.
Permasalahan ini merupakan gambaran kecil dari permasalahan yang ditimbulkan oleh peningkatan populasi penduduk yang ada. Gambaran mengenai ketidakseimbangan jumlah populasi penduduk yang semakin meningkat dengan jumlah sarana transportasi yang ada dan gambaran mengenai adanya tuntutan peningkatan sarana transportasi seiring dengan petumbuhan jumlah penduduk.
Solusi yang bisa diberikan untuk permasalahan ini adalah dengan adanya penyediaan sarana transportasi yang lebih untuk memenuhi kebutuhan mobilitas yang semakin meningkat. hal ini disebabkan peningkatan populasi penduduk yang sulit untuk dikendalikan, walaupun dapat dikendalikan, namun jumlah populasi penduduk yang ada memang membutuhkan sarana transportasi umum yang lebih.
Selain itu, dalam pemanfaatan sarana transportasi umum, seharusnya dibatasi kapasitas penumpangnya. Hal ini demi menjaga kualitas dari sarana transportasi umum itu sendiri dan demi kenyamanan penumpang. Bila fenomena pengangkutan penumpang yang melebihi kapasitas ini terus berulang , maka dalam kurun waktu yang tidak lama akan menyebabkan rusaknya sarana transportasi umum tersebut.
Sedangkan untuk menangani masalah tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, dapat menggunakan program KB sebagai pengendali. Akan tetapi adanya program KB tidak akan dapat mencapai tujuan pengendalian laju pertumbuhan penduduk, bila masyarakat tidak maus memanfaatkannya. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan sehingga masayarakat terbuka wawasannya, mengenai pentingnya mengendalikan kelahiran anak dan menggunakan layanan KB sebagaimana mestinya. Selain KB juga dapat dilakukan transmigrasi agar pertumbuhan penduduk dapat merata.
Pertumbuhan populasi penduduk akan semakin meningkat tiap harinya. Seiring dengan hal itu mobilitas manusia, barang, dan jasa juga semkain meningkat. Hal ini menyebabkan adanya tuntutan dalam peningkatan sarana transportasi umum yang ada. Oleh karena itu, peningkatan akan kualitas dan kuantitas sarana transportasi umum perlu dipenuhi demi kemajuan pembangunan dan kesejahteraan bersama.
Peace Be Upon The Choosen One
Bismillahirrahmanirrahim.
Hmmm,,,,lampirkan dulu lirik Maher Zain ,,,,
Inspiring me to understand My Prophet Muhammad SAW. How worth my Prophet for me is!!!!!
Hmmm,,,,lampirkan dulu lirik Maher Zain ,,,,
Inspiring me to understand My Prophet Muhammad SAW. How worth my Prophet for me is!!!!!
MaHeR Zain_The Chosen One
In a time of darkness and greed
It is your light that we need
You came to teach us how to live
محمد يا رسول الله
You were so caring and kind
your soul was full of light
You are the best of mankind
محمد خير خلق الله
صلّوا على رسول الله
الحبيب المصطفى
Peace be upon The Messenger
The Chosen One
From luxury you turned away
And all night you would pray
Truthful in every word you say
محمد يا رسول الله
Your face was brighter than the sun
Your beauty equaled by non
You are Allah Chosen One
محمد خير خلق الله
صلّوا على رسول الله
الحبيب المصطفى
Peace be upon The Messenger
The Chosen One
I’ll try to follow your way
And do my best to live my life
as you taught me
I pray to be close to you
On that day and see you smile
When you see me
صلّوا على رسول الله
الحبيب المصطفى
Peace be upon The Messenger
The Chosen One
صلّوا على رسول الله
Oh
Peace be upon.. Oh
The Chosen One
Do you thank Allah often? "Think and Thank" ... Watch 2nd
episode of "Together to Paradise"
youtube.com/together2paradise
It is your light that we need
You came to teach us how to live
محمد يا رسول الله
You were so caring and kind
your soul was full of light
You are the best of mankind
محمد خير خلق الله
صلّوا على رسول الله
الحبيب المصطفى
Peace be upon The Messenger
The Chosen One
From luxury you turned away
And all night you would pray
Truthful in every word you say
محمد يا رسول الله
Your face was brighter than the sun
Your beauty equaled by non
You are Allah Chosen One
محمد خير خلق الله
صلّوا على رسول الله
الحبيب المصطفى
Peace be upon The Messenger
The Chosen One
I’ll try to follow your way
And do my best to live my life
as you taught me
I pray to be close to you
On that day and see you smile
When you see me
صلّوا على رسول الله
الحبيب المصطفى
Peace be upon The Messenger
The Chosen One
صلّوا على رسول الله
Oh
Peace be upon.. Oh
The Chosen One
Do you thank Allah often? "Think and Thank" ... Watch 2nd
episode of "Together to Paradise"
youtube.com/together2paradise
Langganan:
Postingan (Atom)