Selasa, 31 Januari 2012

bank Sayriah gooooo

F. Konsep Dasar Bank Syariah
Bank Islam atau di Indonesia disebut bank syariah merupakan lembaga keungan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sector riil melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip Syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaaan kegiatan usaha, atatu kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai Syariah yang bersifat makro maupun mikro.
Nilai-nilai makro yang dimaksud adalah keadilan, maslahah, system zakat, bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti perjudian (maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar), bebas dari hal-hal yang rusak atau tidak sah (bathil), dan penggunaan uang sebagai alat tukar. Sementara itu, nilai-nilai mikro yang harus dimiliki oleh pelaku perbankan syariah adalah sifat-sifat mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Yaitu shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.
1. Konsep Operasi
Seperti telah disebutkan di atas, bank syariah adalah lemabaga keungan yang berfungsi memperlancar mekanisme otonomi di sector riil melalui aktivitas investasi atau jual beli, serta memberikan pelayanan jasa simpanan/perbankan bagi para nasabah. Mekanisme kerja bank syariah adalah sebagai berikut. Bank syariah melakukan kegiatan pengumpulan dana dari nasabah melalui deposito/investasi maupun titipan giro dan tabungan. Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan pada dunia usaha melalui investasi sendiri (nonbagi hasil/ trade financing) dan investasi dengan pihak lain (bagi hasil/investment financing). Ketika da hasil (keuntungan), maka bagian keuntungan untuk bank dibagi kembali antara bank dan nasabah pendanaan. Di samping itu, bank Syariah dapt memberikan berbagai jasa perbankan kepada nasabahnya (lihat gambar 11).











Secara teori bank syariah menggunakan konsep two tier mudharaba (mudharabah dua tingkat), yaitu bank syariah berfungsi dan beroperasi sebagai institusi intermediasi investasi yang menggunakan akad mudharabah pada kegiatan pendanaan (pasiva) maupun pembiayaan (aktiva). Dalam pendanaan bank syariah bertindak sebagai pengusaha atau mudharib, sedangkan dalam pembiayaan bank syariah bertindak sebagai pemilik dana atau shahibul maal. Selain itu, bank syariah juga dapat bertindak sebagai agen investasi yang mempertemukan pemilik dana dan pengusaha (lihat gambar 12).
Apabila dilihat lebih rinci, maka alur operasi bank syariah dari proses pendanaan, pembiayaan, dan kegiatan lainnya dapat diilustrasikan seperti Gambar 13.
Pada gambar 13 dapat dijelaskan bahwa dana yang dihimpun melalui prinsip wadiah yad dhamanah, mudharabah mutlaqah, ijarah, dan lain-lain, serta setoran modal dimasukkan ke dalam pooling fund. Pooling fund ini kemudian dipergunakan dalam penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diperoleh bagian bagi hasil/laba.
Sesuai kesepakatan awal (nisbah bagi hasil) dengan masing-masing nasabah (mudharib atau mitra usaha); dari pembiayaan dengan prinsip jual beli diperoleh margin keuntungan ; sedangkan dari pembiayaan dengan prinsip sewa diperoleh pendapatan sewa. Keseluruhan pendapatan dari pooling fund ini kemudian dibagihasilkan antara bank dengan semua nasabah yang menitipkan, menabung, atau menginvestasikan uangnya sesuai dengan kesepakatan awal. Bagian nasabah atau hak pihak ketiga akan didistribusikan kepada nasabah, sedangkan bagian bank akan dimasukkan ke dalam laporan rugi laba sebagai pendaptan operasi utama. Sementara itu, pendapatan lain, seperti dari mudharabah muqayyadah (investasi terikat) dan jasa keuangan dimasukkan ke dalam laporan rugi laba sebagai pendapatan operasi lainnya.
Dari penjelasan di atas terlihat jelas bahwa esensi dan karakteristik bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dirangkum dalam Tabel 3.

Bank Konvensional Bank Syariah
Fungsi dan Kegiatan Bank Intermediasi, Jasa Keuangan Intermediasi, Manager Investasi, Investor, Sosial, Jasa Keuangan
Mekanisme dan Objek Usaha Tidak antiriba dan antimaysir Antiriba dan antimaysir
Prinsip Dasar Operasi - Bebas nilai (prinsip materialis)
- Uang sebagai Komoditi
- Bunga - Tidak bebas nilai (prinsip syariah Islam)
- Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi
- Bagi hasil, jual beli, sewa
Prioritas Pelayanan Kepentingan pribadi Kepentingan public
Orientasi Keuntungan Tujuan social-ekonomi Islam, keuntungan
Bentuk Bank komersial Bank komersial, bank pembangunan, bank universal atau multi-porpose
Evaluasi nasabah Kepentingan pengembalian pokok dan bunga (creditworthiness dan collateral) Lebih hati-hati karena partisipasi dalam resiko
Hubungan Nasabah Terbatas debitor-kreditor Erat sebagai mitra usaha
Sumber Likuiditas Jangka Pendek Pasar Uang, Bank Sentral Pasar Uang Syariah, Bank Sentral
Pinjaman yang diberikan Komersial dan nonkomersial. Berorientasi laba Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba dan nirlaba

Bentuk-bentuk musyarakah antara lain :
a. Musyarakah Tetap
Bentuk akad musyarakah yang paling sederhana adalah musyarakah tetap ketika jumlah dan porsi modal yang disertakan oleh masing-masing mitra tetap selama periode kontrak.
b. Musyarakah Menurun
Bentuk akad lain yang merupakan pengembangan dari musyarakah adalah musyarakah menurun. Pada kerja sama ini, dua pihak bermitra untuk kepemilikan bersama suatu aset dalam bentuk property, peralatan, perusahaan, atau lainnya. Bagian asset pihak pertama, sebagai pemodal, kemudian dibagi ke dalam beberapa unit dan disepakati bahwa pihak kedua, sebagai klien, akan membeli bagian asset pihak pertama unit demi unit secara periodic sehingga akan meningkatkan bagian asset pihak kedua sampai semua unit milik pihak pertama terbeli semua dan asset sepenuhnya milik pihak kedua. Keuntungan yang dihasilkan pada tiap-tiap periode dibagi sesuai porsi kepemilikan asset masing-masing pihak saar itu.
c. Musyarakah Mutanaqishah
Salah satu bentuk musyarakah yang berkembang belakangan ini adalah musyarakah mutanaqishah, yaitu suatu penyertaan modal secara terbatas dari mitra usaha kepada perusahaan lain untuk jangka waktu tertentu, yang dalam dunia modern biasa disebut Modal Ventura, tanpa unsur-unsur yang dilarang dalam Syariah, seperti riba, maysir, dan gharar.

2. Mudharabah
Secara singkat mudharabah atau penanaman modal adalah penyerahan modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan presentase keuntungan (Al-Mushlih dan Ash-Shawi, 2004)
Sebagai suatu bentuk kontrak, mudharabah merupakan akan bagi hasil ketika pemilik dana/modal (pemodal), biasa disebut shahibul maal/rabbul maal, menyediakan modal (100 persen) kepada pengusaha sebagai pengelola, biasa disebut mudharib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (yang besarnya juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar).
Shahibul maal (permodal) adalah pihak yang memiliki modal, tetapi tidak bisa berbisnis, dan mudharib (pengelola atau entrepreneur) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal.
Apabila terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena kelalaian atau kecurangan pengelola, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, sedangkan pengelola kehilangan tenaga dan keahlian yang telah dicurahkannya. Apabila terjadi kerugian karena kelalaian dan kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung jawab sepenuhnya.
Pengelola tidak ikut menyertakan modal. Tetapi menyertakan tenaga dan keahliannya, dan juga tidak meminta gaji atau upah dalam menjalankan tugasnya. Pemilik dana hanya menyediakan modal dan tidak dibenarkan ikut campur dalam manajemen usaha yang dibiayainya. Kesediaan pemilik dana untuk menanggung risikp apabila terjadi kerugian menjadi dasar untuk mendapat bagian dari keuntungan. Bagan mudharabah dapat dilhat pada Gambar 25.










Dalam satu kontrak mudharabah pemodal dapat bekerja sama dengan lebih dari satu pengelola. Para pengelola tersebut seperti bekerja sama dengan lebih dari satu pengelola. Para pengelola tersebut seperti bekerja sebagai mitra usaha terhadap pengelola yang lain. Nisbah (porsi) bagi hasil pengelola dibagi sesuai kesepakatan di muka.
nisbah bagi hasil antara pemodal dan pengelola harus disepakati di awal perjanjian. Besarnya nisbah bagi hasil masing-masing pihak tidak diatur dalam Syariah, tetapi tergantung kesepakatan mereka. Nisbah bagi hasil bisa dibagi rata 50:50, tetapi bisa juga 30:70, 60:40, atau proporsi lain yang disepakati. Pembagian keuntungan yang tidak diperbolehkan adalah dengan menentukan alokasi jumlah tertentu untuk salah satu pihak. Diperbolehkan juga untuk menentukan proporsi yang berbeda untuk situasi yang berbeda. Misalnya, jika pengelola berusaha di bidang produksi, maka nisbahnya 50 persen, sedangkan kalau pengelola berusaha di bidang perdagangan, maka nisbahnya 40 persen.
Di luar porsi bagi hasil yang diterima pengelola, pengelola tidak diperkenankan meminta ga ji atau kompensasi lainnya untuk hasil kerjanya. Semua mazhab sepakat dalam hal ini. Namun demikian, Imam Ahmad memperbolehkan pengelola untuk mendapatkana uang makan harian dari rekening mudharabah. Ulama dari mazhab Hanafi memperbolehkan pengelola untuk mendapatkan uang harian (seperti untuk akomodasi, makan, dan transport) apanibila dalam perjalanan bisnis ke luar kota.
Rukun dari akad mudharabah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
1. Pelaku akad. Yaitu shahibul maal (pemodal) adalah pihak yang memiliki modal tetapi tidak bisa berbisnis , dan mudhaerib (pengelola) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak punya modal;
2. Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh); dan
3. Shighah, yaitu Ijab dan Qabul
Sementara itu, syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam mudharabah terdiri dari syarat modal dan keuntungan. Syarat modal. Yaitu :
1. Modal yang harus berupa uang;
2. Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya;
3. Modal harus tunai bukan utang; dan
4. Modal harus diserahkan kepada mitra kerja
Sementara itu. Syarat keuntungan, yaitu keuntungan harus jelas aturannya; dan keuntugan harus dengan pembagian yang disepakati kedua belah pihak.
Syarat lain akad udharabah muqayyadah ‘executing’ (on balance sheet) dan mudharabah muqayyadah ‘channeling’ (off balance sheet) adalah sebagai berikut:
- Mudharabah muqayyadah on balance sheet (executing);
Pemodal menetapkan syarat ;
Kedua pihak sepakat dengan syarat usaha, keuntungan;
Bank memisahkan dana.
- Mudharabah muqayyadah off balance sheet (channeling):
Penyaluran langsung ke nasabah;
Bank menerima komisi;
Bank menerbitkan bukti investasi khusus; dan
Bank mencatat di rekening administrasi;
Beberapa syarat pokok mudharabah menurut Usmani (1999) antara lain sebagai berikut:
a. Usaha mudharaba. Shhibul maal boleh menentukan usaha apa yang akan dilakukan oleh mudharib, dan mudharib harus mengivestasikan modal ke dalam usaha tersebut saja. Mudharabah seperti ini disebut mudharabah muqayyadah (mudharabah terikat). Akan tetapi, apabila shahibul maal mwmberikan kebebasan kepada mudharib untuk melakukan usaha apa saja yang dimaui oleh mudharib, maka kepada mudharib hahrus diberi otoritas untuk mengivestasikan modal ke dalam usaha yang dirasa cocok. Mudharabah seperti ini disebut mudharabah mutlaqah mudharabah tidak terikat).
Seorang shahibul maal dapat melakukan kontrak mudharabah dengan lebih dari satu orang mudharib melalui satu transaksi. Hal ini berarti bahwa shahibul maal dapat menawarkan modalnya kepada A dan B sehingga masing-masing bertindak sebagai mudharib untuknya dan modal mudharabah dapat digunakan bersama oleh mereka, dan bagian mudharib harus dibagi di antara mereka dengan proporsi yang disepakati bersama.
Dalam kasus ini kedua mudharib harus menjalankan usaha seperti mitra usaha satu terhadap yang lain. Kepada mudharib, secara individu atau bersama, diberi otoritas untuk menjalankan apa saja sebagaimana layaknya suatu usaha. Namun demikian, jika mereka ingin melakukan kerja ekstra, di luar kebiasaan usaha, mereka tidak dapat melakukannya tanpa izin dari shahibul maal.
b. Pembagian keuntungan. Untuk validitas mudharabah diperlukan bahwa para pihak sepakat, pada awal kontrak, pada proporsi tertentu dari keuntungan nyata yang menjadi bagian masing-masing. Tidak ada proposri tertentu yang ditetapkan oleh Syariah, melainkan diberi kebebasan bagi mereka dengan kesepakatan bersama. Mereka dapat membagi keuntungan dengan proporsi yang sama. Mereka juga dapat membagi keuntungan denagn proporsi berbeda untuk mudharib dan shahibul maal. Namun demikian, mereka tidak boleh mengalokasikan keuntungan secara lumsum untuk siapa saja dan mereka juga tidak boleh mengalokasikan keuntungan dengan tingkat presentase tertentu dari modal. Misalnya, jika modal Rp 100 juta, mereka tidak boleh sepakat terhadap syarat bahwa mudharib akan mendapatkan Rp 10 juta dari keuntungan, atau terhadap syarat bahwa 20 persen dari modal harus menjadi bagian shahibul maal. Namun, mereka boleh sepakar bahwa 40 persen dari keuntungan riil menjadi bagian shahibul maal dan 60 persen menjadi bagian mudharib atau sebaliknya.
c. Penghentian mudharabah. Kontrak mudharabah dapat dihentikan kapan saja oleh salah satu pihak dengan syarat member I tahu pihak lain terlebih dahulu. Jika semua asset dalam bentuk cair/tunai pada saat usaha dihentikan, dan usaha telah menghasilkan keuntungan, maka keuntungan dibagi sesuai kesepakatan terdahulu. Jika asset belum dalam betnuk cair/tunai, kepada mudharib harus diberi waktu untuk melikuidasi asset agar keuntungan atau kerugian dapat diketahui dan dihitung.
Terdapar perbedaan pendapat di antara para ahli Fikih apakah kontrak mudharabah boleh dilakukan untuk periode waktu tertentu dan kemudian kontrak berakhir secara otomatis. Hanafi dan Hambali berpendapat boleh dilakukan, seperti satu tahun, enam bulan, dan seterusnya. Sebaliknya, mazhab Syafi’I dan Maliki berpendapat.....

Kamis, 12 Januari 2012

Pembiayaan Pembangunan dengan Hutang Luar Negeri ; Apakah Efektif?

Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya Indonesia masih sangat menggantungkan pembiayaan pembangunan dengan modal yang bersumber dari hutang luar negeri. Dari tahun ke tahun hutang ini kian menumpuk hingga semakin banyak muncul argumen pro dan kontra akan hutang ini. Sebenarnya, seberapa efektifkah pembiayaan pembangunan dengan hutang luar negeri ini?
Menurut pasal 169-171 UU no. 32 tahun 2004, salah satu smber pendapatan bagi pemerintah daerah adalah dengan melakukan pinjaman dari dalam atau luar negeri dengan persetujuan DPRD. Hal tersebut sejalan dengan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang menyatakan bahawa daerah dapat melakukan pembiayaan daerah melalui berbagai alternatif sumber pembiayaan baru. Misalkan dengan melakukan hutang daerah (local government debt), hutang luar negeri, maupun dengan penjualan obligasi pemerintah daerah kepada masyarakat.
Bila ditinjau dari sisi positif mengenai pembiayaan dengan hutang luar negeri ini, Menurut Devas et.al (1999:221) penggunaan dana pinjaman merupakan salah satu pilihan pembiayaan pembangunan yang memegang peranan penting dalam membuka peluang investasi, dan membangun infrastruktur yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat banyak. Menurutnya, pinjaman daerah dibenarkan karena :
1. Dengan cara meminjam dana untuk menanam modal, pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan di wilayahnya dibandingkan dengan jika kegiatan pembangunannya hanya bergantung pada penerimaan berjalan.
2. Karena manfaat penanaman modal baru dapat dipetik setelah jangka waktu yang panjang, maka sudah seharunya jika biaya dipikul oleh mereka yang akan menikmati manfaatnya dimasa yang akan datang.
Di sisi lain, pembiayaan pembangunan dengan hutang luar negeri ini memiliki dampak negatif. Pada dasarnya, pinjaman juga memiliki konsekuensi. yaitu kewajiban untuk mengembalikan angsuran pokok pinjaman yang disertai dengan bunga, biaya administrasi, serta denda. Oleh karena itu pemerintah harus berhati-hati apabila akan mengambil keputusan untuk melakukan pinjaman.
Hutang luar negeri yang disalurkan oleh negara maju ke negara yang sedang berkembang dan atau negara miskin tidak dilakukan atas dasar kemanusiaan, tetapi dilakukan atas dasar motivasi ekonomi bahkan politik. Hutang luar negeri tidak akan disalurkan tanpa ada keuntungan yang diperoleh negara pemberi hutang. Sesuai amanat dari GBHN bahwa tingkat hutang luar negeri perlu dikurangi, pembahasan ini lebih memfokuskan pada analisis terhadap hutang luar negeri berikut permasalahan dan agenda ke depannya.
Permasalahan hutang luar negeri sekarang telah menjadi fokus perhatian utama meski pada awalnya sendiri hutang luar negeri seperti dimanatkan oleh GBHN tahun 1973 hanya sebagai pelengkap dan pembantu akan tetapi dalam perjalanannya telah terjadi penumpukan stok hutang luar negeri yang relatif tinggi. Posisi hutang yang sudah tinggi tersebut membawa konsekuensi logis pada beban pembayarannya. Pembiayaan pembangunan melalui dana pinjaman tersebut juga berpotensi merusak struktur ekonomi secara keseluruhan, atau menjerat Pemerintah dengan beban hutang yang tinggi.
Indonesia saat ini mengalami situasi apa yang disebut Fisher Paradox dalam hubungannya dengan hutang luar negerinya, yaitu situasi semakin banyak cicilan hutang luar negeri dilakukan semakin besar akumulasi hutang luar negerinya. Ini disebabkan cicilan plus bunga hutang luar negeri secara substansial dibiayai oleh hutang baru. Oleh karena nilai cicilan plus bunga hutang luar negeri lebih besar dari nilai hutang baru, maka terjadilah apa yang disebut net transfer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing.
Salah satu bentuk hutang luar ini adalah hutang ADB yang diduga bisa mengentaskan kemiskinan, namun sebaliknya program dan hutang ini semakin memperlebar jurang ketidakadilan, terutama terhadap kaum yang paling rentan: petani, buruh, nelayan, dan perempuan.Faktanya, pengerukan ekonomi-politik yang terjadi saat ini di sektor mineral dan batubara, pertambangan, migas, pertanian dan kelautan sebenarnya dialirkan ke negara-negara maju. Dalam kasus ini, sebenarnya negara-negara miskin dan berkembanglah yang memberikan dana dengan ‘murah’ kepada negara-negara maju. Negara maju macam Amerika Serikat dan Jepang—yang notabene adalah pemodal utama lembaga keuangan seperti ADB—kemudian seakan-akan “menyalurkan” bantuan terhadap negara miskin dan berkembang.
Jadi, ditinjau dari segi positif dan negatifnya, apakah pembiayaan pembangunan yang bersumber pada hutang luar negeri masih efektif?
Indonesia dalam pembiayaan pembangunan memang belum mampu sepenuhnya mandiri. Namun akan lebih baik jika setiap pemerintah lebih mengutamakan untuk lebih berinisiatif dan berinovasi untuk mengembangkan skema-sekam pembiayaan yang dapat mengatasi ketergantungannya pada pembiayaan eksternal lewat peningkatan sumberdaya dalam negeri.
Sebagai contoh Kota Singapura sudah melakukannya, melalui reformasi fiskal, Kota Singapura telah mengatasi dampak krisis ekonomi sekaligus meminimalisasi pinjaman luar negeri. Reformasi ekonomi ini diberlakukannya melalui pemberian pajak efektif bagi warga negaranya, pajak efektif terhadap perusahaan nasional dan trans-nasional, pemberantasan korupsi, pencegahan capital flight serta upaya mengembalikan dana korupsi yang disimpan di luar negeri.
Dalam membangun perkotaan melalui pembiayaan pembangunan yang sehat perlu diupayakan perubahan arah dan paradigma ekonomi mikro dan makro. Baik warga dan Pemerintah harus menyadari bahwa pembiayaan dalam pembangunan perkotaan merupakan tanggung jawab semua warga negara. Semua harus turut berpartisipasi. Misalnya melalui Forced Capital di Singapura, dimana baik Perdana Menteri hingga pekerja konstruksi harus membayar Tabungan Pembangunan dalam jumlah yang sama, walau keduanya dikenakan nilai pajak pendapatan yang berbeda.
Pemerintah pun harus tanggap. Pembiayaan pembangunan harus efektif dan efisien. Pembiayaan pembangunan harus diutamakan untuk pembangunan bukan untuk belanja pegawai. Pemberian subsidi pun harus selektif. Hutang luar negeri harus secepatnya diposisikan kembali hanya sebagai pelengkap dan bersifat sementara seperti dulu ditetapkan waktu menyusun Repelita I dan Repelita II. Dengan merumuskan kembali peran lembaga keuangan terkait keterlibatannya dalam perumusan kebijakan ekonomi, melalui good policy and good governance maka pembiayaan pembangunan perkotaan yang efektif, efesien demi keberlanjutan pembangunan di pekotaan akan dapat terwujud.

Selasa, 10 Januari 2012

Manajemen Kota dengan Kombinasi antara Sistem Bottom Up dan Top Down (Study Kasus Penataan Kawasan Permukiman)

Menurut SK Mendagri No. 65 tahun 1995. Manajemen Kota adalah pengelolaan sumber daya perkotaan yang berkaitan dengan bidang-bidang tata ruang, lahan, ekonomi, keuangan, lingkungan hidup, pelayanan jasa, investasi, prasarana dan sarana perkotaan; serta disebutkan pula bahwa pengelola perkotaan adalah para pejabat (Pemerintah) pengelola perkotaan. Manajemen Kota meliputi pula kesejahteraan warga kota dalam arti yang luas. Atas dasar ini fungsi-fungsi yang dilaksanakan oleh manajemen perkotaan biasanya meliputi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perkembangan kota.
Manajemen kota dengan sistem Top Down artinya adalah perencanaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal serta pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program yang berwal dari perencaan hingga proses evaluasi, dimana peran masyarakat tidak begitu berpengaruh. Pada kenyataannya sitem ini tidak dapat menjawab secara keseluruhan masalah penataan kawasan perkotaan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya,dll. Dari tahun ke tahun managemen kota itu selalu terulang dan akibatnya masyarakat yang menjadi korban. Diantaranya yaitu perjalanan menjadi terhambat, masyarakat menjadi pasif, tidak merasa berkepentingan, dan akhirnya justru akan mengalami kemunduran kemampuan dan kemunduran tanggung jawab, berdampak banjir dan kualitas pembangunan pun menjadi tidak tepat guna dan sasaran.
Adapun kelemahan dari sistem “TOP DOWN” adalah :
1. Masyarakat tidak bisa berperan lebih aktif dikarenakan peran pemerintah yang lebih dominan bila dibanding peran dari masyarakat itu sendiri.
2. Masyarakat tidak bisa melihat sebarapa jauh suatu program telah dilaksanakan.
3. Peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari awal hingga akhir.
4. Tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada masyarakat tidak terwujud dikarenakan pemerintah pusat tidak begitu memahami hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat.
5. Masyarakat akan merasa terabaikan karena suara mereka tidak begitu diperhitungkan dalam proses berjalannya suatu proses.
6. Masyarakat menjadi kurang kreatif dengan ide-ide mereka.
Melihat permasalahan tersebut Pemerintah dalam manajemen kota tidak lagi menggunakan sistem Top-Down akan tetapi dengan menggunakan sistem Bottom Up. Artinya adalah perencanaan yang dilakukan masyarakat lebih berperan dalam hal pemberian gagasan awal sampai dengan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan sedangkan pemerintah pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam suatu jalannya program. Inti dari sitem bottom up ini yaitu partisipasi masyarakat memiliki andil yang besar dalam manajemen kota. Akan tetapi sistem ini juga memiliki kekurangan tersendiri.
Kelemahan dari sistem “BOTTOM UP” adalah
1. Pemerintah akan tidak begitu berharga karena perannya tidak begitu besar.
2. Hasil dari suatu program tersebut belum tentu biak karena adanya perbadaan tingkat pendidikan dan bisa dikatakn cukup rendah bila dibanding para pegawai pemerintahan.
3. Hubungan masyarakat dengan pemerintah tidak akan berlan lebih baik karena adanya silih faham atau munculnya ide-ide yang berbeda dan akan menyebabkan kerancuan bahkan salah faham antara masyarakat dengan pemerintah dikarenakan kurang jelasnya masing-masing tugas dari pemerintah dan juga masyarakat.
Pada dasarnya, tidak semua manajemen kota dengan sistem top down keliru dan tidak semua manajemen kota dengan sistem bottom up benar. Tetapi, jika prinsip pengelolaan pembangunan yang diterapkan merupakan kombinasi antara kedua prinsip tersebut, maka pengelolaan pembangunan yang berpihak pada masyarakat pasti terjawab. Oleh karena itu, sistem yang dianggap paling baik adalah suatu sistem gabungan dari kedua janis sistem tersebut karena banyak sekali kelebihan yang terdapat didalamya antara lain adalah selain masyarakat mampu berkreasi dalam mengembangkan ide-ide mereka sehingga mampu berjalan beriringan bersama dengan pemerintah sesuai dengan tujuan utama yang diinginkan dalam mencapai kesuksesan dalam menjalankan suatu program tersebut.
Berikut ini adalah contoh penerapan Manajemen Kota dengan kombinasi dari sistem top down dan sistem bottom up dalam pengembangan kawasan permukiman. Manajemen kota berbasis partisipasi masyarakat ( dengan kombinasi prinsip sistem top down dan bottom up) dapat dilakukan dalam bentuk pengembangan permukiman zonasi berbasis kampung. Dalam program ini, pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal dalam pengembangan tata ruang mikro. Pengembangan ini dapat membangun tata ruang mikro yang lebih mudah dikontrol oleh stakeholder yang terkait, yaitu warga kampung itu sendiri. Sebagai contoh kasus, di kota-kota kecil sampai sedang elemen perumahan atau fungsi campuran (rumah-toko, rumah-warung, rumah-bengkel, rumah-kebun) menjadi unsur yang mendominasi wujud fisik kota-kota. Pola tata kelola kawasan permukiman tersebut mencerminkan eratnya hubungan antara tempat tinggal dan mata pencaharian.
Kombinasi kedua prinsip ini (top down dan bottom up) dalam penataan kawasan permukiman juga diperlukan untuk peningkatan kelestarian lingkungan dan penanganan masalah banjir. Sejalan dengan makin terasanya dampak perubahan iklim global, ditambah lagi dengan perubahan penggunaan lahan di kawasan hulu, serta pembangunan-pembangunan yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan, acap kali terjadi bencana (misalnya : banjir). Pada dasarnya, bencana ini disebabkan oleh tidak terkendalinya pembangunan perumahan dan permukiman di sepanjang daerah resapan air, bahkan di sepanjang bantaran sungai dan badan-badan air lainnya
Oleh karena itu dalam pengembangan kawasan permukiman perlu melibatkan partisipasi masyarakat melalui institusi warga yang dibentuk untuk menyelenggarakan tata kelola kewilayahan (area governance), perencanaan tersebut difasilitasi untuk mengarah pada model pembangunan permukiman yang lestari dan berkelanjutan dengan menerapkan kawasan budidaya dan kawasan penyangga secara mikro. Pemerintah dalam hal ini memberikan masukan gagasan awal aturan dasar pengelolaan wilayah dan penangan masalah. Sedangkan masyarakat memiliki andil dalam mewujudkan rencana tersebut. Melalui sistem tata kelola kewilayahan mikro yang baik, maka hal-hal yang terkait dengan pencegahan dan pengendalian banjir aka lebih mudah dilakukan, karena di dalamnya warga juga diajak untuk menciptakan lingkungan yang lestari melalui pembangunan permukiman yang memperhatikan keseimbangan ekologis di dalamnya. Karena aturan pengembangan dibuat sendiri oleh warga (dengan panduan dari pemerintah kota), tentu saja warga akan berusaha mengontrol antar sesama mereka.
Model ini bisa diintegrasikan dengan tata ruang makro (skala kota) secara bertahap dan berkesinambungan melalui sistem fasilitasi antar wilayah yang kemudian membentuk satuan wilayah perkotaan. Pada tingkat satuan wilayah perkotaan keberadaan permukiman kota sudah perlu diintegrasikan dengan berbagai fasilitas pendukung kota seperti pasar, terminal, sarana pendidikan terpadu, puskesmas terpadu, layanan jasa terpadu (kantor pos, telepon, internet, layanan informasi, bank/ lembaga keuangan mikro, layanan hukum dan sebagainya).
Manajemen kota dengan kombinasi prinsip sistem top down dan bottom up ini juga membantu dalam pembiayaan pembangunan. Pemerintah yang dalam pembiayaan pembangunan memiliki anggaran yang terbatas dapat dibantu dengan pembiayaan swadaya oleh masyarakat. Selanjutnya, hal ini dapat mencegah dari penggunaan pembiayaan pembangunan dengan hutang luar negeri.
Kesimpuannya, tidak ada pendekatan pembangunan yang ekstrem top down dan juga tidak ada yang ekstrem bottom up. Tidak semua manajemen kota dengan sistem top down keliru dan tidak semua manajemen kota dengan sistem bottom up benar. Tetapi, jika prinsip pengelolaan pembangunan yang diterapkan merupakan kombinasi antara kedua prinsip tersebut, maka pengelolaan pembangunan yang berpihak pada masyarakat dapat terjawab. Terlepas dari tingkat perkembangan masyarakat, proses pembangunan harus menjadi proses belajar hadap masalah (problem possing) bagi masyarakat untuk terus berkembang kemampuan dan kemauannya. Proses pembangunan harus mendorong daur maju perkembangan masyarakat.